Laman

Cari Artikel Lainnya disini

ULAMA’ DAN PROBLEMA SOSIAL


ULAMA’ DAN PROBLEMA SOSIAL
(GUGATAN TERHADAP PERAN ‘ULAMA’)

Idrus Ali, S.Ag., MHI

PROLOG
Al-Ghazali (W. 505 H.) dalam karya monomentalnya Ihya’ ‘Ulum al-Din mengemukakan:
   العلماء بفساد الملوك فساد و الملوك بفساد الرعايا ففساد
الجاه و المال حب باستيلاء العلماء فساد و
“Rusaknya moral rakyat disebabkan oleh rusaknya moral penguasa, rusaknya moral penguasa disebabkan oleh rusaknya moral Ulama’ dan rusaknya moral Ulama’ disebabkan oleh kecintaan yang berlebihan terhadap harta dan tahta”.[1]
Statement al-Ghazali  sengaja saya kutip sebagai pengantar dalam tulisan ini. Karena ternyata, kerusakan dan kehancuran bangsa (termasuk Indonesia) memiliki relevansi dengan perkataan al-Ghazali tersebut

 Akhir-akhir ini, lebih-lebih pasca reformasi (baca: pasca tumbangnya orde baru) banyak Ulama’ yang mulai bermain diluar wilayah garapannya, meski sekedar menjadi supporter fanatik dalam tarik menarik pemilihan Bupati, gubernur, presiden, caleg, penentu proyek pembangunan, penjualan pasal RUU di DPRD tingkat I /II /Pusat, skandal kenaikan jabatan dan APBD, penyaluran bantuan semisal KUT, dan lain-lain
Intinya pilihan Ulama’ (baca: Kiai, Tuan Guru, Buya, Ajengan)[2] dalam kancah politik lebih menguatkan tesis al-Ghazali tersebut


PEMBAHASAN
Tulisan ini ingin mempertanyakan ulang peran Ulama’ yang akhir-akhir ini sudah mulai banyak menyimpang dari garapan utamanya, dimana peran utama yang ideal bagi Ulama’ adalah mementingkan atau membela kaum miskin, tertindas, mustadl’afin dibanding kepentingan elit, diawali dengan gugatan terhadap peran Ulama’, pemahaman terhadap realitas sosial, tawaran methode alternatif, Ulama’ dan problem sosial, dan peran ideal Ulama’

Gugatan Terhadap Peran Ulama’
Realitas sejarah memberi gambaran kepada kita bahwa persekutuan yang membuat patalogi (ketimpangan) sosial adalah persekutuan antara penguasa dan konglomerat. Ada beberapa hal yang menyebabkan hal ini terjadi antara lain: Ulama’ sebenarnya paham terhadap kondisi sosial yang ada, tetapi dia tidak punya daya untuk melakukan pembelaan.Problem mendasar dari ulama’ adalah minimnya wawasan dalam hal-hal yang berkaitan dengan interaksi sosial
 Ulama’ yang diwakili oleh kiai, tuan guru, buya, dan ajengan lebih cenderung memfokuskan diri pada kepentingan individual, sehingga terkesan mengabaikan urusan public. Kecendrungan ini disebabkan oleh pemahaman sempit terhadap sebuah ajaran, bahwa ibadah adalah segala-galanya
Keyakinan bahwa persoalan ubudiyah lebih penting ketimbang lainnya, sehingga persoalan muamalah dan jinayah sebagai representasi kepentingan publik, relatif lepas dari perhatiannya. Orang lebih takut meninggalkan shalat dan puasa dari pada tidak membangun madrasah. Orang lebih suka menunaikan ibadah haji dari pada memikirkan kemiskinan dan masyarakat tertindas
Sering kali orang membedakan antara menyumbang ke masjid dan menyumbang untuk membangun jembatan. Menyumbang untuk pembangunan masjid diyakini sebagai bentuk ibadah, tapi untuk membangun jalan, jarang sekali orang menganggap bahwa itu ibadah . padahal, ibadah bukan hanya dalam bentuk shalat dan haji yang bersifat vertikal. Tetapi hubungan keharmonisan yang bersifat horisontal pun juga masuk dalam bingkai ibadah seperti membangun jembatan, mengentaskan kemiskinan, penegakan hukum, dan pembelaan terhadap hak-hak masyarakat tertindas, dan lain lain
 Oleh karena itu, perlu mendekonstruksi dan rekonstruksi konsep fiqh.[3] Konsep fiqh yang selama ini lebih mengarah pada teosentris (ilahiyyah-transenden) harus diubah menjadi antroprosentris (insaniyyah-humanis).[4]
Proses transformasi keulama’an dari al-Waqi’ (apa yang terjadi) kepada al- Mutawaqqa’ (apa yang diinginkan) perlu dilakukan identifikasi dan perlu dilakukan orientasi wawasan keulama’an, sehingga para ulama bisa melakukan perubahan sosial dengan cara mereposisi perannya di tengah-tengah masyarakat

Pemahaman Terhadap Realitas Sosial
Pemahaman yang mendominasi dalam ruang keulamaan adalah problem-problem tektual, nashshiyah ilahiyyah. Menurut penulis, suatu hal yang seharusnya dilakukan oleh Ulama’ adalah  identifikasi problem kemanusiaan yang terjadi di masysarakat, misalnya : problem kemiskinan, ketidak adilan gender --dalam arti ulama’ harus melakukan refleksi kritis terhadap kondisi obyektif yang ada di lingkungannya--. Realitas sosial yang ada dilingkungannya dianalisa dan direfleksikan secara konkrit apa akar masalahnya ?, siapa yang diuntungkan dan dirugikan ?
Pembacaan seperti itu akan memiliki daya kritis apabila menggunakan analisa kritis.[5] Pendekatan kritis dalam mengamati situasi sosial, sisi struktur, dan sejarahnya adalah pendekatan yang mencakup aspek-aspek biologis, budaya, psiko sosial dan spiritual religius, kemudian semua spek itu dilihat sebagai  sebuah sistem menjadi suatu komponen yang utuh. Kerena problem kemanusiaan bila dilihat dari analisa sosial teoritis adalah berangkat diantara faktor-faktor biologis, sosiologis, ekonomi, politik, budaya, spiritual, dan penghayatan seseorang terhadap agama
Ulama dalam melakukan pembelaan adalah melakukan advokasi[6] atau pembelaan kemanusiaan secara personal. Misalnya dengan punya situs (website) pribadi untuk melayani sekian ummatnya dalam lintas waktu dan daerah
Kalau Ulama’ bisa mengambil inisiatif dengan pelayanan personal ini, tentu akan sangat membantu dalam waktu singkat orang-orang Islam di daerah-daerah yang sulit dijangkau, sehingga mereka tidak perlu sowan dan bisa dijumpai setiap waktu walau dalam dunia maya
Kesan elitis mungkin akan mengemuka. Tetapi paling tidak, para ulama’ memiliki inisiatif untuk turun ke wilayah grass root  memahami realitasnya, bukan dengan duduk santai menunggu pengaduan dari masyarakat. Dengan demikian, persoalan yang muncul ke permukaan bisa ditangani secara utuh dan komprehensif
Pemahaman terhadap realitas grass root, membutuhkan pisau analisa (perlu menggunakan analisis ilmu-ilmu sosial, politik, ekonomi, dan budaya) misalnya struktur masyarakat yang bagaimana dapat membentuk seorang ulama’ sehingga dia bertindak secara tidak adil ? struktur nilai apakah yang mendorong ulama’ bertindak dehumanis ? adakah dorongan ekonomi ? ataukah  karena dorongan hasrat untuk memimpin (berkuasa)?, maka itu adalah tugas analisa sosial
Ulama’ sebagaimana anggota masyarakat lainnya, tidak lahir dalam ruang hampa, melainkan tersandera oleh struktur masyarakat. Peran yang dilakukan ulama ditentuka oleh tuntutan peran keulama’annya, yaitu sebagai intelektual organik. Maka fokus utama refleksi kritis situasi sosial adalah kondisi obyektif di tengah masyarakat, suatu realitas yang konkrit, bukan realitas yang diimajinasikan oleh fiqh
Kesadaran kritis dibangun dengan pergelutan terhadap kenyataan riil di masyarakat. Pemahaman kita seringkali berhenti pada tataran “teo” tidak berani menyeberang  pada tataran “antropo[7] apakah seseorang mampu merubah struktur ataukan dia dirubah oleh struktur itu ?

Tawaran Metode Alternatif
Pemahaman ulama’ terhadap agama sangat dipengaruhi oleh metodologi yang dipakai, karena  pemahman agama yang dikaitkan dengan realitas sosial, berarti menghadapkan teks-teks agama dengan konteks sosial
Untuk menghadapkan dua hal ini, diperlukan metode jadaliyah al-Nash ma’a al- Waqi’ (dialektika teks dengan konteks) sebuah pilihan metodologi dan alat analisis. Metode yang dimaksud adalah meletakkan pembacaaan realita sosial sebagai langkah awal, bukan pembacan teks suci. Karena pemahaman apriori terhadap teks, akan mengabaikan falsifikasi (penyangkalan) terhadap realitas. Penafsiaran agama menjadi kaku dan tidak lagi relevan dengan fenomena yang dihadapi. Alih-alih perubahan merupakan keniscayaan dan tidak terhindarkan. Realita sosial selalu berkembang, bahkan lebih cepat dari penafsiran teks yang reaktif, lebih-lebih yang imajinatif dan tidak berdasar pada realitas.[8]
Contoh konkrit adalah ushul fiqh sebagai metodologi berfikir dalam hukum Islam, apakah menarasikan tentang problem kemanusiaan ? atau jangan-jangan ushul fiqh kita selama ini hanya mengatasi teks. Karena itu, dibutuhkan sebuah kerangka ushul fiqh baru,[9] yang mampu menghadapkan teks dengan ketimpangan realitas.[10]
Dengan demikian, kita tidak akan terjebak pada pendekatan tekstual yang sering kali berujung pada tindakan kontra produktif. Aktifitas ijtihad itu tidak semata-mata berlangsung di dalam teks saja, tetapi ijtihad juga harus berlangsung di luar teks yang selama ini dianggap sebagai ijtihad yang ilegal
 Hemat penulis, yang benar dan tepat adalah bagimana sekiranya ijtihad itu benar-benar berangkat dari problem kemanusiaan dan teks yang ada dipahami sebagai etika moral dari al-Qur’an  dan al-Sunnah

Ulama’ dan Problem Sosial
Meski setiap ulama memiliki kemampuan terbatas dan beraneka ragam kajian masing-masing, tapi muaranya  adalah limaslahatil ummah bukan untuk kemaslahatan dirinya, keluarga atau kelompoknya sendiri. Realitas masih mengatakan bahwa masih banyak orang yang dzolim dan madzlum, penindas dan tertindas. Yang jadi korban adalah tetap masyarakat kecil.[11]
Ironisnya posisi ulama’ sering kali berada di pihak “makelar” yang memperlancar kepentingan kapitalis atau kelompok tertentu
Benar apa yang dikatakan oleh syair, bahwa:

وراعى الشاة يحمى الذ ئب عنها       فكيف اذا الرعاة لها ذئاب

(Artinya: pengembala kambing itu seharusnya menjaga kembalaannya agar tidak diterkam oleh binatang buas/harimau, bagaimana jadinya jika pengembala itu sendiri yang menjadi harimau)[12]
Hal ini sangat menyulitkan kelompok advokat ketika ingin membantu untuk menyelesaikan bentuk problem sosial seperti perburuhan, problem petani, problem perempuan, pemerkosaaan, dan lain-lain. Karena ternyata ulama yang seharusnya membela rakyat kecil malah sebaliknya justru membela kepentingan kelompok elit, the haves.[13]
Karena itu perlu ada sangsi sosial kepada para ulama’ atau orang tertentu yang menyelewengkan ajaran agama. Dengan demikian secara tidak langsung membantu mereka untuk tidak berbuat dzolim terhadap orang lain

Peran Ideal Ulama
Berdasar realitas tersebut dapat disimpulkan bahwa ada pergeseran peran Ulama’ yang pada masa dahulu memberikan dorongan, penguatan terhadap rakyat,  ikut membantu persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Kini yang terjadi sebaliknya, justru banyak ulama’ sibuk dengan problem-problem yang sebenarnya di luar wilayah garapannya, lebih-lebih yang terjadi pada kekuasaan.[14]
Karena itu peran ideal ulama’ menurut penulis adalah ulama harus dikembalikan pada jati dirinya sebagia umana’ al-Rasul dan ikut melakukan pembelaaan terhadap persoalan-persoalan masyarakat. Ulama punya tanggung jawab bagaimana problem-problem masyarakat itu diselesiakan dan dibela, bukan malah sebaliknya, ditutup ruang aspirasinya
Dengan demikian, ulama akan benar-benar menjadi pembela kaum tertindas, mustadl’afin, disamping menjadi athibba’ al-Ruh juga menjadi suruj al-‘Alam, milh al-Balad  dan atribut-atribut lain sebagaimana banyak diungkap dalam berbagai referensi.


** staf pengajar Institut Agama Islam Nurul Jadid (IAINJ) Paiton Probolinggo Jawa Timur


[1]al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum al-Din, vol. 3 (Beirut: Dar al-Fikr, t.t), 132
[2]Secara lughowi, sebutan Ulama’ berasal dari kata  ‘Alim atau ‘Aliim : berarti orang yang memiliki pengetahuan atau mengetahui hakekat sesuatu. Kemudian kata tersebut di jama’ taksir-kan menjadi ‘Ulama’ kata ini merupakan musamma (substansi) dengan demikian tidak perlu penyebutan dari orang lain. --dalam arti siapa saja memiliki banyak pengetahuan secara otomatis disebut Ulama’-- tentu beda dengan sebutan  kiai, tuan guru, buya, ajengan, yang tak lebih hanya sebagai isim (atribut). Sering kali orang disebut  kiai, tuan guru, buya, ajengan oleh komunitas masyarakat, meski kapasitas keilmuannya perlu diperdebatkan

[3] fiqh kita selama ini memang lebih banyak berkutat pada persoalan ibadah ritual dan masalah kekeluargaan, sementara persoalan hukum, ekonomi, hubungan luar negeri, dan sebagainya belum memiliki tempat yang semestinya dalam kajian fiqh. Lihat Hasan al-Turabi, Fiqh Demokratis (Bandung: Arasy, 2003), 50 – 58
[4] Yusuf Qardlowi mengajukan alternatif pemikiran agar fiqh direformasi menjadi fiqh realitas (fiqh al-Waqi’) dan fiqh prioritas (fiqh al-Awlawiyat) yaitu fiqh yang dapat dijadikan sinaran baru bagi problem kemanusiaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini syari’at diharapkan tidak lagi hanya bercorak vertikalistik, yang hanya mengupas masalah hubungan manusia dengan Tuhan, melainkan mencoba merambah masalah-masalah kemanusiaan. Fiqh didesak untuk menyentuh isu-isu kesetaraan gender (fiqh al-Mar’ah), ketatanegaraan (Fiqh al-Dawlah), kewarganegaraan (fiqh al-Muwathanah), dan lain sebagainya. Disini semakin terlihat bahwa mendinamisasikan fiqh merupakan langkah awal guna mendekonstruksi syari’ah dari wajahnya yang statis, eksklusif, diskriminatif menjadi syari’at yang dinamis, inklusif, dan egalitarianistik. Dalam itu, Yusuf Qardlawi telah menulis dua buku fiqh al-Awlawiyat dan min fiqh al-Muyassar li al-Muslim al-Mu’ashir yang khusus membedah pembaharuan fiqh yakni sistimatikanya yang tidak dimulai dari masalah-masalah peribadatan, melainkan dimulai dari masalah-masalah sosial kemasyrakatan
[5] analisa kritik yang perlu ditekankan dalam mengungkap masalah-masalah sosial adalah harus mengetahui tentang paradigma sosial, model analisa sosial, pemetaan kondisi sosial, politik, ekonomi, budaya, Ulama’ dan struktur sosial
[6] yang harus dimiliki oleh Ulama’ dalam kaitannya dengan advokasi adalah prinsip-prinsip dan teknik-teknik advokasi, pengorganisasian masyarakat, dan lain-lain
[7] Padahal Islam akan membuka ruang, jika kita mampu berperan aktif dan serius serta memakai pendekatan yang tepat. Lihat A. Qodri Azizy, Melawan Globalisasi Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM Dan Terciptanya Masyarakat Madani (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2004), 40.
[8] Bandingkan dengan A. Qodri Azizy, Reformasi Bermazhab Sebuah Ikhtiar Menuju Ijtihad Modern (Bandung: Mizan, 2004), 94 – 96.
[9] Kaidah-kaidah ushul fiqh baru atau kaidah-kaidah ushul fiqh al-ternatif semacam al-‘Ibrah bi al-Maqashid la bi al-Fadz, nask al-Nushus bi al-Maslahah, dan Tanqih al-Nushus bi al-Aql al-Mujtama’
[10] Untuk lebih jelasnya, lihat Abd. Moqsith Gazali, Menyususn Kaidah Ushul Fiqh Alternative, makalah disampaikan dalam Program Penguatan Wawasan Keulamaan (PPWK) Dalam Praksis Social Untuk Pemberdayaan Civil Society. Kerjasama Direktorat Perguruan Tinggi Agama Islam DEPAG RI dengan Institut Agama Islam Ibrohimi (IAII) Sukorejo, tanggal 27 – 29 Januari 2004 di Hotel Palem Bondowoso Jawa Timur
[11] Realitas menunjukkan bahwa pada umumnya, Ulama dan keluarganya hidup dalam kemegahan, minimal hidup berkecukupan, sementara masyarakat disekitarnya miskin. Hal itu mungkin karena ada kesalahan penggunaan dan interpretasi terhadap hadits العلماء ورثة الأنبياء  sebagaimana kita ketahui bahwa Nabi itu adalah manusia laki-laki yang diberi wahyu dan tidak diperintahkan untuk menyampaikannya. Karena itu wajar, kalau yang kaya hanya Ulama’, karena dia beranggapan bahwa kekayaan yang diperolehnya tidak harus ditasarrufkan pada masyarakat sekitar, tapi hanya untuk kepentingan dirinya, keluarga, santri, dan pondoknya
[12] al-Ghazali, Ihya’, Vol. 1, 60
[13] karena itu, benar apa yang dikatakan al-Ghazali
فلولا القضاة  السوء  والعلماء السوء لقل فساد الملوك  خوفا من  انكارهم
(Artinya: seandainya tidak ada Qadi yang jelek dan Ulama’ yang jelek, niscaya akan sedikit dijumpai penguasa yang jelek, karena takut akan pengingkaran mereka) . lihat al-Ghazali, Ihya’, Vol. 3, 54
[14] Padahal Nabi Muhammad SAW dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-‘Uqaili dari Anas bersabda bahwa
العلماء أمناء الرسل مالم يخالطوا السلطان  و يداخلوا الدنيا فإذا خالطوا السلطان و داخلوا الدنيا
قفد خانوا الرسل فاحذروهم   (رواه العقيلي عن انس )
(Ulama’ adalah kepercayaan (pemegang amanat) para rasul selagi tidak terkontaminasi dengan penguasa dan tidak terbuai dengan dunia, maka jika Ulama’ terkontaminasi dengan penguasa dan terbuai dengan dunia, maka berarti Ulama’ tersebut berkhianat terhadap kepercayaan yang telah diberikan para rasul, maka wasspadalah terhadap mereka). Lihat Ahmad al-Hasyimi Bek, Mukhtar al-Ahadits al-Nabawiyah wa al-Hikam al-Muhammadiyah (Surabaya : al-Hidayah, tt), 115-116