Laman

Cari Artikel Lainnya disini

MAKALAH ASWAJA


AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH  MENURUT NAHDLATUL ULAMA

A.  Pendahuluan
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan hamba-Nya  ke jalan yang  lurus,  sederhana  dan  mudah  dilaksanakan.  Makalah  singkat  ini  dibuat  untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sosial di Program Pascasarjana (S3) di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Semoga makalah yang singkat ini ada guna dan manfaatnya. Makalah  ini  sesuai  dengan  rencana  Disertasi  penulis  berjudul:  Paham Ahlussunnah  Waljama’ah  Menurut  Nahdlatul  Ulama,  dengan  permasalahan  pokok  : bagaimana NU sebagai organisasi memahami Ahlussunnah Walajama’ah ? dan mengapa NU memahami Ahlussunnah Walajama’ah seperti itu ?. Masalah ini diambil, mengingat NU  adalah  organisasi  keagamaan  Islam  terbesar  di  Indonesia,  yang di  dalam  anggaran dasarnya secara eksplisit menyatakan berpaham Ahlussunnah Walajama’ah. Di samping itu, Ahlussunnah Walajama’ah adalah symbol keselamatan umat Islam, sehingga menjadi klaim  setiap  muslim  bahwa  dialah  ahlussunnah  waljama’ah  dan  dialah  orang  atau golongan yang selamat dari api neraka.
Sejarah  berdirinya  Nahdlatul  Ulama  (NU),  di  Surabaya  sering  dihubungkan dengan  situasi  Indonesia  saat  itu,  terutama  munculnya  kelompok  pembaharu, Muhammadiyah,  sehingga  NU  berdiri  dianggap  sebagai  reaksi  terhadap  kelompok pembaharu  di  Indonesia.  Namun  sebab  langsung  berdirinya  NU  tidak  banyak  berhubungan  dengan  munculnya  reformisme  di  Surabaya,  dan  tujuan-tujuan  awalnya bersifat  lebih  terbatas  dan  konkrit  dibandingkan  dengan  usaha  melakukan  perlawanan terhadap serangan kaum pembaharu.

Lahirnya NU banyak dipengaruhi oleh peristiwa Internasional. Sejak awal  tahun 1924  telah  tersiar  berita  bahwa  khalifah  Abd.  Majid  telah  dipecat    oleh  pemimpin nasionalis Turki, Mustafa Kemal. Selanjutnya menyusul berita bahwa para ulama Mesir di  bawah  pimpinan  Syaikh  al-Azhar  akan  menyelenggarakan  pertemuan  iternasional membahas soal khilafah.
Dalam  situasi hampir bersamaan,  terjadi penyerangan Abd Aziz  Ibn Suud, yang didukung oleh aliran wahabi, terhadap Syarif Husein di Arab Saudi dan menaklukkannya.
Menghadapi peristiwa  tersebut, maka di Surabaya diselenggarakan pertemuan, 4 Agustus 1924, yang dihadiri para  tokoh Syarikat  Islam  (SI), Muhammadiyah, al-Irsyad, al-Ta’dibiyah,  Tashwir  al-afkar,  Ta’mir  al-Masajid,  dan  perhimpunan  lain.
Pertemuan memutuskan membentuk komite khilafah dan  akan menyelenggarakan persidangan  luar biasa kongres al-Islam untuk mengirim delegasi ke Kairo.
Kongres yang diadakan kemudian menyepakati beberapa agenda masalah, antara lain  soal  keagamaan  yang  diperselisihkan,  dan  rencana  pengiriman  delegasi  ke  Kairo.
Akan  tetapi di dalam perjalanan ternyata terjadi  lobo-lobi di antara para peserta kongres yang  terdiri  dari  berbagai  organisasi.  Akhirnya,  kelompok  tradisional  menyetakan mundur dari kongres dan membentuk komite Hijaz, yang akan mengirim utusan  sendiri ke Arab  Saudi.  Pada  akhir  pertemuan, 31  Januari  1926,  komite Hijaz  dibubarkan,  dan Martin Van Bruenessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, (Jogyakarta : Lkis 1994), Cet. I, Hal. 150. 
Donald Eugene Smith, Politics and Sicial Change in the Thrith World, (Macmillan Publishing : The Free Press, Co., Inc. 1974), Hal. 57-66. 
Menjilma  menjadi  orgaisasi  formal  yang  bernama  Nahdlatul  Ulama  (NU).  Sehingga tanggal tersebut merupakan hari ulang tahun berdirinya NU.
Dengan  demikian,  dapat  saja  dikatakan  bahwa NU  lahir  sebagai  reaksi  terhadap para  pembaharu  di  Indonesia,  tetapi  yang  jelas  lebih banyak dipengaruhi oleh masalah keagamaan  internasional  yang  berkembang  saat  itu.  Hal  itu  dapat  dibuktikan  dengan kenyataan  bahwa  sebelum  peristiwa  pemecatan  terhadap  khalifah  Abdul  Majid  oleh Mustafa Kemal  di Turki  dan  penyerangan  oleh Abdul Aziz  Ibnu  Suud  terhdap  Syarif Husein di Arab Saudi  terjadi, para  tokoh tradisional dan  tokoh pembaharu dapat bekerja sama, bahu membahu mengembangkan ajaran Islam dan memberdayakan ummat. Kerja  sama  itu  misalnya  lewat  forum  diskusi  dan  tukar  pikiran  yang  diadakan melalui wadah Tashwir al-Afkar, yang melibatkan para tokoh pembaharu dan tradisional seperti: Mas Mansyur, Muhammadiyah, Abdul Wahab Hasbullah, NU, dan lain-lain.








B.  Paham Ahlussunnah Waljama’ah.
Ahlussunnah Walajama’ah adalah aliran pemahaman keagamaan yang bercita-cita mengamalkan  syari’at  Islam  secara murni, sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Mereka harus memahami wahyu yang bersifat ghaib dan disampaikan dalam ke-ghaib-an. Untuk itu  tidak  ada yang patut mengaku  sebagai pengamal  syari’at  Islam  secara mutlak benar kecuali Rasul, karena dialah yang menerima dan dituntun wahyu sesuai kehendak Allah.
Selain Rasul,  para  sahabat  yang  selalu dekat  dengannya  adalah  umat  Islam  yang kwalitas  pemahaman  terhadap  wahyu mendekati  sempurna,  karena mereka  tahu  persis M. Ali Haidar,  Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta:PT.Gramdia Pustaka Utama 1994) Hal. 41-3.  Bagaimana Nabi Muhammad memahami dan mengamalkan wahyu. Mereka yang disebut Ahlussunnah Waljama’ah. 
Umat  Islam  dituntut  memahami  dan  mengamalkan  syari’at  Islam  sesuai kehendak Allah,  sebagaimana diamalkan oleh Nabi dan para  sahabatnya. Tetapi wahyu sudah  tidak  turun  lagi,  yang  tinggal  hanya  catatan  berupa mushaf  al-qur’an,  dan  Nabi sebagai  patron  ajaran  Islam  sudah  tiada,  hanya meninggalkan  sunnah,  berupa  ucapan, perbuatan dan  ketetapan yang  tercatat  di dalam beberapa kitab hadis. Begitu  juga para sahabat, hanya meninggalkan atsar, bekas, maka untuk memenuhi tuntutan tersebut umat Islam  hanya  dapat melakukannya melalui  proses  identifikasi  terhadap  pemahaman  dan pengamalan ajaran  Islam yang dilakukan oleh Nabi dan para  sahabatnya. Sudah barang tentu,  yang  namanya  identifikasi  tidak  akan  sama  persis.  Oleh  karena  itu,  para  ulama mencoba  untuk  mengidentifikasi  beberapa  kelompok  pemahaman  yang  hampir  sama dengan amalan Nabi dan para sahabat, yang disebut Ahlussunnah Waljama’ah.
Terdapat delapan kelompok pemahaman yang  telah  teridentifikasi oleh para ulama sebagai pendukung Ahlussunnah Waljama’ah. Yaitu, Ulama kalam seperti al-Asy’ari dan al-Maturidi,  Ulama  fikih  seperti  Abu  Hanifah, Malik,  Syafi’i,  Ahmad  Ibn  Hanbal,  al-Auza’iy, al-Tsauriy, Ibn Abi Laila dan Daud al-Dhahiriy. Ulama Hadis, para ahli bahasa seperti Sibawaihi, Farra’ dan Asmu’iy, Ahli ilmu qira’at. Ulama tasawuf, pejuang militer seperti Shalahuddin al-Ayyubiy, dan pendukung syi’ar Ahlussunnah Waljama’ah. Namun demikian, ada yang membatasi Ahlussunnah Waljama’ah hanya berkaitan dengan  fikih  saja.  Ahlussunnah Waljama’ah  berarti  beberapa  orang  yang melestarikan sunnah Rasul dan para sahabatnya. Mereka memakai kitab Allah, Sunnah Rasul, Ijma’ al-Einar Martahan Sitompul, Nahdlatul Ulama Dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1996) Hal.70.   
Ummat  dan  Qiyas,  analogi,  sebagai  dalil  syara’  dan  memandangnya  sebagai  sumber istinbath  hukum.
Bahkan  berdasarkan  sejarah,  ada  yang  membatasi  Ahlussunnah Waljama’ah  hanya  dalam  bidang  akidah,  ushuluddin  atau  teologi  saja,  sehingga  yang termasuk Ahlussunnah Walajama’ah hanya terdiri dari tiga kelompok.
Pertama, Ahl al-Atsar, pengikut Imam Ahmad Ibn Hanbal, dengan ciri membatasi beberapa  kajiannya berdasarkan dalil naqliyah,  al-Qur’an dan Hadis,  dan  sedikit  sekali menggunakan  dalil  aqliyah.  Mereka  tidak  mau  mentakwilkan,  menjelaskan, menggunakan  rasio,  terhadap  beberapa  ayat  mutasyabihat,  ayat  yang  memiliki kemungkinan  arti  atau makna  lebih  dari  satu,  juga  tidak  suka  memastikan  maknanya, menyerahkan secara bulat pengertian ayat mutasyabihat kepada Allah.
Kedua,  al-Asya’irah,  pengikut  Imam  Abu  al-Hasan  al-Asy’ari.  Golongan  ini memperluas kajian masalah  Ilmu Kalam, memakai dalil aqliyah  lebih banyak meskipun tetap  mempertahankan  keunggulan  dalil  Naqliyah.  Mereka  kurang  tertarik  membahas beberapa ayat Mutasyabbihat sampai mendalam. Golongan ini menjadi mayoritas ummat sampai  sekarang,  karena pengaruh  kegiatan  penyebaran wawasannya,  terutama melalui beberapa kitab pendukungnya.
Ketiga, al-Maturidiyah, pengikut Imam Abu Manshur al-Maturidi, dengan metode yang  menyerupai  golongan  al-Asy’ariyah,  malah  dalam  beberapa  hal,  lebih  bebas menggunakan  dalil  akal  dan  banyak  menggunakan  takwil  terhadap  semua  ayat Mutasyabbihat.










C.    Paham Ahlussunnah Waljama’ah Menurut NU.

Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES 1982)
Hal.148-160. 

Nahdlatul  Ulama  mencoba  untuk  mengakomodir  Ahlussunnah  Waljama’ah sebagaimana  tersebut  di  atas  dengan  batasan  yang  lebih  sederhana.  Ahlussunnah Walajama’ah menurut NU  adalah mereka yang mengikuti metode berpikir, manhaj al-fikr,  di  dalam bidang  akidah  mengikuti  madzhab  al-Asy’ari  dan  Maturidi,  di  dalam bidang fikih mengikuti salah stu Imam empat, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali serta di dalam bidang tasawuf mengikti madzhab Junaid al-Baghdadi dan diteruskan oleh al-Ghazali  yang  tereduksi di dalam kitab  Ihya’ Ulum al-Din.
Batasan  tersebut diambil oleh NU karena: Pertama, Syari’at Islam secara global dapat dibagi menjadi tiga aspek, yaitu syari’at dalam arti hukum, baik ibadah maupun mu’amalah, akidah dan tasawuf atau akhlak, baik yang  berhubungan  antara  manusia  dengan  sesama  manusia  maupun  hubungan  antara manusia dengan Tuhan.
Kedua,  NU  mengambil  jalan  tengah  di  antara  dua  kutub  ekstrim,  yaitu  antara rasioalis dengan  tekstualis,  karena  jalan  tengah  atau moderat  itu  dianggap  yang paling selamat di antara yang selamat, sehingga NU mengakui bahwa madzhab yang diikutinya mengandung kemungkinan lebih besar berada di dalam jalur kebenaran dan keselamatan.
Hal  ini  juga  dapat  berarti  bahwa  kebenaran  yang  diikuti  dan  diyakini  oleh  NU  hanya bersifat  kemungkinan  dan  bukan  kemutlakan,  dalam  arti  mungkin  benar  dan  bukan mutlak benar. Oleh karena kebenaran yang diikuti dan diyakini hanya bersifat mungkin, maka dapat berarti juga mungkin salah. Hal ini dapat dilihat pada alasan ketiga.
Ketiga,  kebenaran  yang  didasarkan  atas  hasil  identifikasi  akal  pikiran  tidak  ada yang mutlak, sehingga memungkinkan adanya beberapa alternatif pilihan  sesuai dengan situasi  dan  kondisi.  Beberapa  alternatif  pilihan  tersebut  dimungkinkan  dalam  rangka
Ibid., Hal.149. 
Menyesuaikan diri  dengan  situasi dan  kondisi  lingkungan masyarakat  setempat. Karena ajaran Islam bersifat universal dan berlaku sepanjang zaman, kapan saja dan di mana saja.
Keempat,  Islam  adalah  rahmat bagi  seluruh  alam. Alam  ini  tidak  sama di  setiap lokasi.  Dengan  prinsip  ini,  maka  Islam  mesti  dapat  beradaptasi  dengan  budaya  local. Artinya  Islam  tidak harus seragam di  seluruh dunia,  Islam menerima keragaman  sesuai dengan budaya  setempat. Oleh karena  itu,  Islam di  Indonesia  adalah  Islam yang  sesuai dengan budaya bangsa Indonesia.
Pemikiran  NU  dalam  merumuskan  paham  Ahlussunnah  Waljama’ah  seperti tersebut  di  atas,  dilatar  belakangi  oleh  sejarah  Islam masuk  ke  Indonesia.  Islam  yang masuk  ke  Indonesia  bercorak  sufistik,  bermadzhab  fikih  Syafi’i  dan  berpaham  teologi Asy’ariyah.  Islam  yang  bercorak  sufistik,  menyebabkan  Islam  mudah  diterima  oleh bangsa  Indonesia  tanpa  gejolak,  yang  sebelumnya  bangsa  Indonesia  telah  memiliki kepercayaan  Hindu-Budha.Begitu  juga  dengan  madzhab  Syafi’i  di  bidang  fikih  dan paham Asy’ariyah di bidang teologi, yang berkembang di Indonesia, mempengaruhi umat Islam  Indonesia  bersikap  moderat  antara  tekstualis  dan  rasionalis.  Sehingga  Islam  di Indonsia penuh dengan toleransi, adaptasi dan asimilasi terhadap budaya setempat.
Dalam pandangan NU, paham Ahlussunnah Waljama’ah juga berkaitan erat dengan faktor  sejarah  perkembangan  Islam  secara  keseluruhan,  dan  faktor  metodologis mulai awal Islam sampai hari ini.
Faktor sejarah, mengacu kepada sekelompok sahabat dan generasi sesudahnya yang selalu  bersikap  tawasuth,  mengambil  jalan  tengah,    tawazun,  seimbang,  di  dalam menyelesaikan  setiap  persoalan,  dan  bersikan  tasamuh,  toleran,  adil,  netral,  di  dalam menghadapi perselisihan. Einar Martahan Sitompul, Op. Cit., Hal.36-7. 

Pada  saat  terjadi  perselisihan  politik  antara  sahabat  Ali  Ibn  Abi  Thalib  dengan Muawiyah  Ibn Abi  Sufyan,  telah  terdapat beberapa  sahabat  yang  netral  dan menekuni bidang keilmuan. Sikap netral seperti itu juga dilanjutkan oleh beberapa tokoh tabi’in dan tabi’ al-tabi’in.
Sejak kematian Ali Ibn Abi Thalib pada tahun 40 H. atau 661 M. umat Islam telah terpecah menjadi tiga golongan. Yaitu:
1.      Golongan  Syi’ah  yang  mencintai  Ali  dan  keluarganya  serta membenci Muawiyah Ibn Abi Sufyan.       
2.      Golongan  Khawarij  yang  tidak  memihak  kepada  Ali  Ibn  Abi  Thalib maupun Muawiyah, bahkan memusuhi keduanya.
3.      Sebagian kaum muslimin yang mengakui kekhalifahan Muawiyah.

Dalam  kondisi  seperti  ini  terdapat  sejumlah  sahabat  antara  lain:  Ibn  Umar,  Ibn Abbas,  Ibn Mas’ud  dan  lain-lain,  yang menghindarkan diri  dari  konflik  dan menekuni bidang keilmuan dan keagamaan.
Dari  kegiatan  mereka  inilah  kemudian  lahir  sekelompok  ilmuan  sahabat,  yang mewariskan tradisi keilmuan itu kepada generasi berikutnya. Selanjutnya melahirkan para muhadditsin,  ahli  Hdits,  Fuqaha’,  para  ahli  fikih,  mufassirin,  para  ahli  tafsir,  dan mutakallimin, para ahli  ilmu kalam. Kelompok ini selalu berusaha untuk mengakomodir semua  kekuatan,  model  pemikiran  yang  sederhana,  sehingga  mudah  diterima  oleh mayoritas umat Islam. 

Faktor metodologis, berkaitan erat dengan pemahaman ajaran Islam. Bahwa untuk memahami  ajaran  Islam  secara benar, harus melalui mata  rantai pewarisan pemahaman secara benar dan dapat dipertanggung jawabkan.
Kebenaran mata  rantai pewarisan pemahaman ajaran  Islam, dapat diukur dengan kesinambungan  hubungan  guru-murid  secara  langsung  sampai  kepada  Nabi.  Untuk memahami  ajaran  Islam  yang  berupa  wahyu,  secara  benar  tidak  cukup  hanya melalui beberapa catatan mushaf al-qur’an dan beberapa catatan hadits, tetapi harus juga melalui jalur penghayatan  yang  berupa  sikap dan perilaku. Hal  itu dapat dicapai hanya  dengan melihat  dan  terlibat  langsung  dalam  penghayatan  dan  pengamalan  antara  yang mewariskan  dan  yang  mewarisi.  Oleh  karena  itu,  perlu  madzhab,  yaitu  jaringan pemahaman ajaran Islam.
Kebenaran  yang  dapat dipertanggung  jawabkan, diukur dari metode yang  dipakai atau  jalan pikiran  yang ditempuh  seseorang untuk  sampai  kepada kesimpulan pendapat mengenai penghayatan dan pengamalan tersebut, sehingga dapat diuji kebenarannya. Hal itu dapat dicapai melalui dokumen yang benar berupa beberapa buku atau beberapa kitab yang telah tertulis, sehingga dapat dicek kebenarannya oleh siapa saja dan kapan saja.



D. Kesimpulan, penutup.     
Pemahaman NU  terhadap ahlussunnah waljama’ah dapat diringkas dengan cukup sederhana,  yaitu:  syuhud  ain  al-syari’ah,  moderasi  antara  akal  dan  nakl  dan  hakekat kebenaran.
Syuhud ain al-syari’ah,  berarti bahwa yang tahu persis tentang bentuk dan rahasia syari’ah  hanyalah  Allah,  yang  selanjutnya  diberitahukan  kepada  Rasul melalui  wahyu  secara rahasia. Selanjutnya Rasul melakukan syari’ah  tersebut diikuti oleh para sahabat, diteruskan  kepada  tabi’in,  tabi’  al-tabi’in  dengan  cara  yang  sama,  sampai  kepada para ulama dan umat secara keseluruhan, sambung sinambung sampai hari ini.
Moderasi  antara  akal  dan  nakl,  berarti  bahwa  di  dalam  memahami  dan mengamalkan  syari’ah  harus  menggunakan  segala  sumber  dan  potensi,  baik  berupa wahyu maupun  akal. Keduanya  harus  digunakan  secara  seimbang.  Sebab wahyu  tanpa akal  tidak mungkin  dapat  dipahami  dan  diterima,  begitu  juga  akal  tanpa  wahyu  tidak mungkin mengetahui syari’ah sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Oleh karena  itu akal dan wahyu harus digunakan secara  seimbang dalam  rangka mengetahui dan memahami maksud syari’ah yang dikehendaki Allah.
Sedangkan  hakekat  kebenaran menurut NU  adalah bahwa  kebenaran  yang  hakiki adalah  kebenaran  yang  bersumber  pada  wahyu.  Kebenaran  wahyu  bersifat  mutlak, sedangkan  kebenaran  yang  dihasilkan  oleh  akal  pikiran  bersifat  nisbi,  relatif.  Dengan demikian  tidak ada klaim yang paling benar  terhadap keputusan akal pikiran. Keputusan akal  pikiran  hanya  mampu  menciptakan  beberapa  alternatif  yang  bersifat  sementara, sehingga memungkinkan adanya beberapa pilihan. Beberapa pilihan tersebut disesuaikan dengan tempat, situasi dan kondisi. Oleh karena itu NU sangat menghargai perbedaan dan penuh toleransi.
Demikian makalah singkat ini dibuat dengan segala keterbatasan, semoga ada guna dan manfaatnya. Amin.   






SEJARAH NU (Nahdlatul Ulama)
Republika, 24 Maret 2010

PERJALANAN NU
31 Januari 1926
Komite Hejaz bertemu di Lawang Agung, Ampel, Surabaya dan sepakat mendirikanJam’iyah Nahdlatul Ulama dengan rais akbar pertama KH. Hasyim Asy’arie.
Tahun 1937
NU membidani kelahiran Al Majlisul Islamy al A’la Indonesia (MIAI) yangmerangkum berbagai ormas Islam)
24 Oktober 1943
MIAI akhirnya menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan Wahid Hasyim menjadi ketua.
07 Nopember 1945
Melalui kongres di Yogyakarta, Masyumi menjadi partai politik umat Islam satu-satunya. NU kemudian mengeluarkan fatwa jihad untuk pertempuran Surabaya melawan Inggris.
28 April – 1 Mei 1952
Muktamar NU di Palembang memutuskan NU keluar dari Masyumi
Tahun 1953
NU memproklamirkan diri sebagai partai politik
Tahun 1955
Dalam pemilu pertama, partai NU meraup suara terbesar ke tiga dari 29 partai peserta pemilu dengan 18,4 % suara
Tahun 1966
NU terlibat dalam pemberantasan PKI
Tahun 1971
Dalam pemilu pertama masa orde baru, partai NU memperoleh suara terbesar ke dua setelah Golkar.
Tahun 1979
Dalam Muktamar NU ke 26 di Semarang, muncul gagasan kembali ke khittah 1926 untuk melepaskan NU dari politik praktis
Tahun 1984
Muktamar ke NU 27 di Situbondo memutuskan kembali ke khittah 1926 dan keluar dari arena politik praktis. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai ketua umum PBNU.
Tahun 1994
Gus Dur terpilih kembali menjadi ketua umum PBNU untuk ke tiga kalinya.
23 Juli 1998
PKB menjadi wadah politik kaum Nahdliyin
Mei – September 2004
KH. Hasyim Muzadi yang terpilih menjadi Ketua Umum PBNU pada Muktamar Kediri 1999 maju sebagai wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri dalam pemilihan presiden

PRA PEMBENTUKAN JAM’IYAH NU DAN GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM
Gerakan pembaharuan adalah gerakan yang mengajak kembali kepada al-qur’an dan sunnah tanpa berpegang kepada madzhab dan membuat madzhab/ijtihad sendiri-sendiri. Gerakan ini bermula di Saudi Arabia yang dipelopori oleh Abdul Wahab dan di Mesir oleh Muhamad Abduh dan Rasyid Ridha sebagai muridnya. Gerakan ini di respon positif di Indonesia dengan berdirinya Muhammadiyah.
Di Cirebon, Jawa Barat pada tahun 1921, diadakanlah Kongres Islam, dalam Kongres yang berlangsung tanggal 31 Oktober – 2 Nopember 1922 dibawah pimpinan Cokroaminoto dan Agus Salim tersebut muncul perdebatan yang cukup sengit. Perdebatan itu terjadi antara ULAMA TRADISIONAL yang diwakili oleh KH. Raden Asnawi dan KH. Abdul Wahab Chasbullah dengan kalangan MUHAMMADIYAH dan AL-IRSYAD yang diwakili oleh KH. A. Dahlan dan Ahmad Surkati. Perdebatan tersebut berkisar antara menganut madzhab atau tidak menganut madzhab. KALANGAN TRADISIONAL MENGANGGAP Muhammadiyah mau membuat madzhab baru dan seenaknya menafsirkan al-qur’an dan sunnah tanpa merujuk kepada madzhab para ulama terdahulu, sementara MUHAMMADIYAH MENGANGGAP kalangan tradisional yang berpegang kepada madzhab sebagai penyebab bekunya gerakan (pembaharuan) Islam.
Sejak itu interaksi antara kalangan tradisional yang berpusat di pesantren dan kalangan Muhammadiyah (kalangan pembaharu) kurang harmonis.
Sementara itu pada tahun 1923 di Semenanjung Arab terjadi pertempuran sengit antara pasukan Ibnu Sa’ud yang mengikuti faham wahabi melawan pasukan Syarif Husen sebagai khalifah kaum Muslimin seluruh dunia, mereka khawatir jika Ibn Sa’ud memaksakan faham yang ia anut dan memburu kaum pembaharu yang sedang melakukan propaganda di Indonesia.
Kemudian pada tanggal 25 Desember 1924 diadakanlah kongres Islam luar biasa yang membicarakan tentang pengiriman wakil Indonesia ke KONGRES KHILAFAH SE DUNIA yang akan diadakan di Kairo pada bulan Maret 1925, yang kemudian disusul dengan KONGRES ISLAM CENTRAL COMITE KHILAFAH di Yogyakarta pada awal tahun 1925, kemudian dalam kongres tersebut kalangan ulama tradisional yang diwakili oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah mengusulkan agar delegasi yang dikirim ke kongres sedunia tersebut mendesak raja Ibnu Sa’ud supaya memberlakukan kebebasan bermadzhab di tanah Hijaz, namun usul tersebut tidak di respon oleh para anggota kongres yang sebagian besar kaum pembaharu.
Atas tidak diresponnya usul KH. Abdul Wahab Chasbullah, akhirnya KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Raden Asnawi yang mewaakili kalangan ulama trasdisional tersebut membuat KOMITE HIJAZ. Kemudian pada tanggal 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama se Jawa dan Madura untuk melakukan muktamar di Surabaya yang memutuskan :
1.      Mengirim utusan menemui raja Sa’ud untuk meminta kepadanya agar memberikan kebebasan bermadzhab dengan cara agar hukum menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) di tanah Hijaz tetap diberlakukan dan dilindungi serta, tidak memaksakan faham wahabinya.
2.      Oleh karena saat itu para ulama merasa bingung atas nama apa dan siapa mereka mengutus delegasi, maka KH. Mas Alwi menguslkan saat itu juga agar utusan itu berbicara atas nama jam’iyah Nahdlatul Ulama, dan usulnya disetujui oleh para mu’tamirin. Dan saat itulah berdirinya organisasi NU.
3.      Kemudian delegasi yang diutus ke Hijaz, Makkah untuk menghadiri kongres Islam dan menemui raja Sa’ud yang di pimpin oleh Syekh Ghanaim dari Mesir, telah berhasil sukses membawa misi-misi komite Hijaz tersebut.




Kesimpulan :
A. Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik benang merah dengan cara memecah-mecah kelompok kepentingan, yaitu :
1.      Kelompok gerakan pembaharuan yang dipelopori oleh Abdul Wahab (Saudi Arabia), Muhammad Abduh dan Rasyid Ridho (Mesir), Muhammadiyah yang dipimpin oleh KH. Ahmad Dahlan (Indonesia) dan Al-Irsyad yang di pimpin oleh Ahmad Sukarti (Indonesia). = Kelompok-kelompok yang tidak bermadzhab dan menjadikan ijtihad yang menjadi madzhab bagi dirinya dalam memahami al-qur’an dan sunnah.
2.      Kelompok Wahabi yang diwakili oleh raja Sa’ud = kelompok yang akan memaksakan faham / madzhab wahabi dalam memahami al-qur’an dan sunnah
3.      Kelompok ulama tradisional yang membentuk komite Hijaz dan mendiririkan organisasi Nahdlatul Ulama (NU) yang diwakili oleh KH. Raden Asnawi, KH. Abdul Wahab Chasbullah dll. = kelompok yang menekankan perlunya bermadzhab terutama terhadap madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) sebagaimana yang telah diakui dan diterapkan di Indonesia dan saat ini pemikiran kelompok ini mengalami kemajuan yang jauh lebih pesat meninggalkan pemikiran-pemikiran kelompok-kelompok gerakan pembaharu.
4.      Kelompok Syarief Husen khalifah kaum muslimin = ……?

B. Bahwa, dengan berhasilnya misi-misi komite Hijaz yang dibentuk oleh para pendiri Nahdlatul Ulama, pertempuran-pertempuran sengit yang terjadi di Timur tengah dapat diatasi dan hukum menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) dapat diberlakukan, di lindungi dan dibebebaskan di wilayah kekuasaan raja Sa’ud di tanah Hijaz dan tidak memaksakan faham wahabinya.









SEJARAH PEMBENTUKAN JAM'IYAH NU DAN KEPENGURUSANNYA
Saat terjadi pergolakan di Timur Tengah mengenai "perselisihan antara menganut faham islam bermadzhab dan tidak bermadzhab" yang ditandai dengan munculnya khilafat baik di Turki maupun di Saudi Arabia, yang sangat berpengaruh terhadap akidah ahlus sunnah wal jama'ah, umat Islam Indonesia membentuk komite Hijaz untuk menghadiri undangan raja Sa'ud dalam acara kongres Islam.
Dinamakan komite Hijaz karena komite ini dibentuk untuk menghadiri kongres islam di Hijaz, Makkah untuk meredam pergolakan tersebut. Komite Hijaz sendiri dibentuk atas inisiatif KH. Abdul Wahab Chasbullah yang kepemimpinannya diambil dari pengurus2 forum tashwirul afkar, nahdlatul wathan dan syubbanul wathan yang kesemuanya dibentuk oleh beliau.
Komite Hijaz tersebut dipimpin oleh KH. Bisri Syansuri dari Denanyar, Jombang, KH. Ridwan dari Semarang, KH. Raden Asnawi dari Kudus, KH. Nawai dari Pasuruan, KH. Nahrawi dari Malang, KH. Alwi Abd. Aziz dari Surabaya, kemudian kiai2 tersebut berkumpul di surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 dan memutuskan :
1.      Memimpin delegasi ke kongres dunia islam demi memperjuangkan kepada raja Ibnu Sa'ud agar hukum menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) mendapat perlindungan dan kebebasan di wilayah kekuasaannya.
2.      Membentuk suatu jam'iyah bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan Para Ulama) yang berjuang menegakan syari'at Islam yang berhaluan salah satu dari empat madzhab.
Untuk sementara kepengurusan syuriah dan tanfidziah dipercayakan kepada KH. Alwi Abdul Aziz dari Surabaya, sementara delegasi ke Makkah untuk menghadiri kongres Islam di pimpin oleh Syekh Ghanaim telah berhasil sukses membawa misi komite Hijaz tersebut.
Kemudian untuk kepengurusan NU, KH. Abdul Wahab Chasbullah tidak bersedia menduduki jabatan rais akbar sebagai pucuk pimpinan di NU dan beliau menyerahkan jabatan itu kepada KH. Hasyim Asy'ari sebagai gurunya dan wakilnya KH. Ahmad Dahlan dari Surabaya, sementara ketua tanfidziah dipercayakan kepada H. Hasan Gipo, dan KH. Abdul Wahab Chasbullah merasa cukup sebagai katib aam syuriyah.
(diambil dari buku berjudul 99 Kiai Kharismatik Indonesia, Buku Kedua, Cetakan ke II, Penerbit Kutub, Yogyakarta dengan pengarang KH. A. Aziz Masyhuri, Jombang)
KH. ABDUL WAHAB CHASBULLAH
KETURUNAN JOKO TINGKIR :
Kiai Whab Chasbullah lahir dari pasangan Chasbullah dan Nyi Latifah, pada bulan Maret 1888 di Tambak Beras, Jombang. Keluarga kiai Chasbullah, pengasuh pondok Tambak Beras, masih mempunyai hubungan kekerabatan dengan orang yang paling masyhur di abad ke 20 yang sama dari jombang, yaitu KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai Sichah yang juga leluhur kiai KH. Hasyim Asy’ari. Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dengan kiai Abdussalam. Konon jika diurut dari atas, nasab keluarga ini akan bermuara pada Lembu Peteng, salah seorang raja di Majapahit.

LAHIR DAN BESAR DI PONDOK PESANTREN :
Memasuki usianya yang ke tujuh tahun, Abdul Wahab mulai mendapatkan pelajaran agama secara intensif. Selama enam tahun awal pendidikannya, ia di didik langsung oleh ayahnya, dengan demikian Abdul Wahab menyelami pesantren sejak dini.
Selama kurang lebih 20 tahun, secara intensif ia menggali pengetahuan keagamaan di beberapa pesantren. Diantara pesantren yang pernah disinggahinya adalah pesantren Langitan Tuban, pesantren Mojosari Nganjuk, pesantren Cempaka, pesantren Tawangsari sepanjang, pesantren Kademangan Bangkalan Madura, pesantren Branggahan Kdiri, dan pesantren Tebuireng Jombang dibawah pimpinan KH. Hasyim Asy’ari. Selama 4 tahun ia menjadi lurah pondok, sebuah jabatan tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang santri dalam sebuah pesantren.

MENIKAH :
Pada tahun 1914, Abdul Wahab Chasbullah menikah dengan puteri kiai Musa yang bernama Maimunah, sejak itu ia tinggal bersama mertua di kampong Kertopaten, Surabaya.
Sepeninggal isteri pertamanya di Makkah sewaktu menjalankan ibadah haji tahun 1921, KH. Abdul Wahab Chasbullah memperisteri Alawiyah, puteri Kiai Alwi. Setelah memperoleh seorang putera, isteri ke duanya ini pun meninggal. Setelah itu KH. Abdul Wahab Chasbullah pernah tiga kali menikah tetapi tidak berlangsung lama dan tidak dikaruniai anak, kemudian kawin lagi dengan Asnah, puteri kiai Sa’id, pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat orang anak diantaranya KH. Najib Abdul Wahab yang selanjutnya mengasuh pesantren Tambak Beras.
Setelah Asnah meninggal, kiai Wahab menikah dengan Fatimah, anak H. Burhan tetapi tidak memperoleh keturunan tetapi memperoleh anak tiri, diantaranya KH. A. Sajichu. Setelah itu KH. Abdul Wahab Chasbullah menikah dengan Ashikhah, anak KH. Abdul Madjid Bangil, yang meninggal setelah beribadah haji dan memperoleh empat orang anak. Terakhir kiai KH. Abdul Wahab Chasbullah memperisteri Sa’diyah, kakak Ashikhah, sampai akhir hayatnya pada tahun 1971 dan memperoleh lima anak.

PENDIRI SERIKAT ISLAM DI MAKKAH :
Setelah menjalani perjalanan intelektualnya, hamper sepenuh hidupnya dihabiskan di dunia pesantren. Maka pada usia 27 tahun KH. Abdul Wahab Chasbullah kemudian memperdalam pengetahuan keagamaannya di Makkah selama kurang lebih lima tahun. Di Makkah ia beremu dengan ulama terkemuka dan kemudian berguru kepadanya, diantaranya kiai Mahfudz dari Termas, kiai Muchtarom dari Banyumas, Syekh Ahmad Khatib dari Minagkabau, Syekh Sa’id Al-Yamami dan Syekh Ahmad Abu Bakri Saha. Di sana beliau tidak hanya sibuk dengan kegiatan belajar, namun juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan organisasi. Bahkan beliau bersama Abbas dari Jember, Asnawi dari Kudus dan Dahlan dari Kertosono yang mempelopori berdirinya Syarikat Islam (SI) cabang Makkah.
Dengan rangkaian perjalanan intelektual yang demikian panjang, tidak mengherankan apabila pada usia 34 tahun KH. Abdul Wahab Chasbullah telah menjadi pemuda yang menguasai berbagai disiplin ilmu keagamaan, seperti ilmu tafsir, hadits, fiqih, akidah, tasawuf, nahwu shharaf, ma’ani, manthiq, arudl dan ilmu hadlarah dari cabang ilmu diskusi dan retorika.

MENDIRIKAN TASHWIRUL AFKAR :
Akhirnya bersama kiai mas Mansur, kawan mengaji di Makkah, ia membentuk kelompok diskusi tashwirul afkar (pergolakan pemikiran) di sdurabaya pada tahun 1914. Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berfikir dan berpendapat yang diterapkan dan topic-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini sangat popular dan menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh islam dari berbagai kalangan bertemu dalam forum ini untuk mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik yang dianggap penting.
Tashwirul afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren, ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh nasionalis sekaligus jembatan komunikasi antara generasi muda dengan generasi tua. Dari posnya di Surabanya, kelompok ini menjalar sampai ke seluruh kota di Jawa Timur. Bahkan gaungnya sampai ke daerah lain seluruh Jawa. Kelompok ini tidak hanya mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul, tetapi juga menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan. Jelas pemrakarsanya memasukan unsur-unsur kekuatan politik untuk menentang penjajah. Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresifitas berpikir dan bertindak, maka jelas kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersama dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya, KH. Abdul Wahab Chasbullah masih bersama kiai mas Mansur menghimpun sejumlah ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (kebangkitan Tanah Air) yang telah memperoleh kedudukan badan hukumnya pada tahun 1916. Dari organisasi inilah KH. Abdul Wahab Chasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama pesantren yang kurang lebih sealiran dengannya. Diantara ulama yang berhimpun itu adalah Kiai N. Alwi Abdul Aziz, kiai Ma’shum dan kiai Kholil dari Lasem.

MENDIRIKAN NAHDLATUL WATHAN :
Tampilnya nahdlatul wathan sebagai lembaga pendidikan dalam rangka menindaklanjuti rekomendasi Tashwirul Afkar antara lain telah membuka jalur pendidikan sebagai jalur rekrutmen dan sosialisasi pilitik dalam membangkitkan kesadaran nasional.
Sebagai lembaga pendidikan, Nahdlatul Wathan dibawah pimpinan KH. Abdul Wahab Chasbullah telah berhasil mendirikan sekolah-sekolah di berbagai daerah du Jawa timur, antara lain :
1.      Madrasah Ahloel Wathan di Wonokromo,
2.      Madrasah Farol Wathan di Gresik,
3.      Madrasah Hidayatul Wathan di Jombang dan
4.      Madrasah Khitabatul Wathan di Surabaya.
KH. Abdul Wahab Chasbullah juga mempunyai perhatian khusus terhadap para pemuda. Untuk itu, KH. Abdul Wahab Chasbullah mengumpulkan beberapa orang pemuda SYUBBANUL WATHAN (pemuda tanah air) pada tahun 1924. Organisasi ini kemudian menjadi cikal bakal Gerakan Pemuda Anshar yang lahir pada tahun 1934. Dikalangan pemudanya disediakan wadah syubbanul wathan (pemuda tanah air) yang di dalamnya antara lain ada nama Abdul Ubaid. Dalam kelopok inilah KH. Abdul Wahab Chasbullah mulai memimpin dan menggerakan perjuangan pemikiran berdasarkan keagamaan dan nasionalisme, saying sekali hanya karena perbedaan khilafiyah saja, duet KH. Abdul Wahab Chasbullah dan mas Mansur harus retak dan kemudian berpisah. Jika tidak, mungkin perkembangan sejarah ormas Islam atau lebih besar lagi umat islam Indonesia akan berbicara lain.
Perbedaan pandangan dengan mas Mansur tidak menjadikan KH. Abdul Wahab Chasbullah mundur diri dari penggalangan pemikiran dikalangan pemuda saat itu. Jiwanya yang bebas dan selalu ingin mencari penyelesaian masalah menjadikan ia terus melakukan kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan dan tokoh-tokoh keagamaan lainnya. Dengan pendiri Al-Irsyad, Syeh Ahmad Surkati di Surabaya, misalnya KH. Abdul Wahab Chasbullah tidak segan-segan melakukan diskusi mengenai masalah keagamaan. Sedangkan KH. Abdul Wahab Chasbullah dengan tokoh pendiri Muhammadiyah yaitu Kiai Ahmad Dahlan sering bertandang ke Yogyakarta untuk bertukar pikiran dengannya.
Akan tetapi juga tidak bisa dihindari, karena terjadinya gerakan kepentingan dan makin menajamnya perselisihan paham keagamaan antar tokoh agama, timbul polarisasi yang ttajam di kalangan mereka, mesti tidak sampai mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yaitu cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia. Kiai mas Mansur misalnya harus kembali ke organisasi Muhammadiyah dan KH. Abdul Wahab Chasbullah terus melanjutkan penggalangan solidaritas ulama dalam forum tersebut.











SEJARAH DAN PERKEMBANGAN NU

A.    Sejarah NU
Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama atau kebangkitan cendikiawan Islam) disingkat NU adalah sebuah organisasi Islam yang besar di Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1928 tersebut dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan memang terus menyebar ke mana-mana –setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan Membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 Didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), Sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan Keagamaan kaum santri. Didirikan Kemudian dan situ Nalidlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat ini dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena dianggap bid'ah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dan kaum modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah maupun PSII di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari anggota Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan dalam delegasi sebagai Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa KH. Hasyim Asy’ari, KH Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya berjalan keluar membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab Hasbullah.
Didorong oleh umatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan dan segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Peran itulah internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Komite Berangkan dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka KH. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Kedua kitab tersebut, kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar dan rujukan sebagai warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial, keagamaan dan po1itik.







B.     Paham Keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah wal Jama’ah, sebuah pola pikir yang banteng jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim naqh (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Quur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fikih mengikuti satu mazhab: Syafi’i meskipun tiga madzhab mengakui yang lain: Hanafi, Maliki, Hambali, sebagaimana yang tergambar dalam lambang NU Berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan syari’at.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, serta merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial. Merumuskan kembali serta hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Sayang, dalam waktu cukup lama, kekayaan intelektual yang dimiliki NU itu tidak mengalami perkembangan signifikan. Akibatnya, NU dengan berbagai tradisi dan lembaga pendidikannya (pesantren) hanya menjadi semacam “dapur pengawet” ilmu. ilmu keislaman. Tidak ada upaya serius untuk merevitalisasi, apalagi melakukan transformasi terhadap khazanah itu. Hal ini bisa dipahami karena ulama NU umumnya mempunyai pengetahuan keagamaan yang hampir seragam, baik di bidang teologi, tasawuf maupun fikih.
Sumber pengetahuan yang digunakan, baik dalam arti genealogi intelektual maupun kitab-kitab yang menjadi rujukan, juga dapat dikatakan sama sehingga belum terjadi apa yang disebut “diversifikasi pengetahuan”. Dalam situasi demikian bisa dipahami jika pada masa- masa mi para pengamat tidak begitu tertarik dengan NU, akibatnya, hingga awal 1990-an kita masih sulit menemukan karya berbobot mengenai NU. Bila orang melihat NU paling-paling hanya gemuruh politik yang tampak di permukaan, sedangkan hasil pemikirannya hampir-. hampir tidak dilirik orang. Singkatnya, hingga paruh kedua 1980-an, NU tidak mempunyai pesona.
Pertanyaan yang muncul, mengapa dalam waktu yang panjang (sejak tahun kelahiran NU sampai paruh kedua 1980an) perkembangan intelektualisme NU hampir-hampir tidak bergerak, bahkan mereka menjadi “palang pintu” penjaga ortodoksi? Pertanyaan ini dapat dijawab dan berbagai perspektif.
Pertama, dalam waktu panjang di kalangan NU belum terjadi mobilisasi intelektual dalam arti belum banyak warga NU terpelajar yang menempuh pendidikan tinggi.
Kedua, akibat dan hal pertama, genealogi intelektual ulama NU juga hampir seragam, belum terjadi variasi dan diversifikasi sumber keilmuan. Hal ini bukan berarti ulama NU selalu mempunyai pandangan yang sama mengenai suatu masalah. Meski genealogi intelektualnya relatif sama, ekspresi di tingkat personal sering berbeda, bahkan bertentangan antara satu dengan lain.

C.    Dasar Pendukung
Dalam menentukan dasar pendukung atau warga NU ada beberapa istilah yang perlu diperjelas, yaitu anggota, simpatisan atau pendukung dan Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmi pun yang bisa dirujuk untuk itu. Karena sampai hari ini tidak ada tumbuh Upaya serius di NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya. Dari segi pendukung atau simpatisan ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, ini bisa dilihat dan jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai Suni, dan sebagian dari PPP. Dari segi keagamaan paham maka bisa dilihat dari jumlah orang yang mendukung dan mengikuti paham keagamaan NU.
Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dan muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari (Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009) memperkirakan ada sekitar 51 juta dari Muslim santri dapat dikatakan pendukung Indonesia, pengikut paham atau keagamaan NU. Sedangkan jumlah santri yang disebut Muslim sampai 80 juta atau lebih merupakan mereka paham keagamaannya yang sama dengan paham keagamaan NU. Belum tentu mereka ini semuanya warga mau disebut atau berafiliasi dengan NU. Mayoritas pengikut NU terdapat di pulau DKI, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra. Perkembangan terakhir pengikut NU mempunyai beragam profesi yang sebagian besar dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki masalah yang sama, selama itu mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlususunnah wal Jamaah. Pada umumnnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah memiliki sejumlah Doktor atau Master dalam berbagai bidang ilmu selain dari ilmu ke-Islam-an baik dan dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara Barat. Hanya saja para Doktor dan Master ini belum dimanfaatkan secara maksimal oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
NU di kabupaten Temanggung bermula dan para pengikut Toriqoh Naqshabandiyah yang berpusat di Sokaraja Banyumas. Kebetulan Temanggung termasuk wilayah Banyumas konsul yang diketuai oleh Raden Muhtar. Kota Parakan mulanya dijadikan badal mengingat cabang toriqoh Sukaraja berpusat di Parakan.

D.    Tujuan dan Usaha Organisasi
1.      Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2.      Usaha Organisasi
a)      Di bidang agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
b)      Di bidang pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam, untuk membentuk Muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas. Hal ini terbukti dengan lahirnya lembaga-lembaga pendidikan yang bernuansa NU dan sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di pulau DKI.
c)      Di bidang sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
d)     Di bidang ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan berkembangnya ekonomi mengutamakan rakyat. Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang telah terbukti membantu masyarakat.
e.       Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyarakat.

E.     Struktur Organisasi
  1. Pengurus Besar (tingkat Pusat)
  2. Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
  3. Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten / Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri.
  4. Pengurus Majelis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
  5. Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan, terdiri dari:
1.      Mustayar (Penasihat)
2.      Syuriyah (Pimpinan Tertinggi)
3.      Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
4.      Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
5.      Syuriyah (Pimpinan Tertinggi)
6.      Tanfidziyah (Pelaksana Harian)

Daftar Pimpinan Nahdlatul Ulama:
Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (Pimpinan Tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
1.      KH. Mohammad Hasyim Asy’arie, 1 926 – 1947.
2.      KH. Abdul Wahab Chasbullah, 1947 – 1971.
3.      KH. Bisri Syansuri, 1972 – 1980.
4.      KH. Muhammad Ali Maksum, 1980 – 1984.
5.      KH. Achmad Siddiq Muhammad Hasan, 1984 – 1991.
6.      KH. Ali Yafie (pjs), 1991 – 1992.
7.      KH. Muhammad Ilyas Ruhiat, 1992 – 1999.
8.      KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, 1999 – sekarang.
Jaringan Organisasi
Hingga akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:
33 Wilayah,
439 Cabang,
15 Cabang Istimewa yang berada di luar negeri,
5.450 Majelis Wakil Cabang / MWC,
47.125 Ranting.

F.     NU dan Politik
Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti Pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Anshor.
NU Kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa Orde Baru. Mengikuti Pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada Muktamar NU di Situbondo, NU menyatakan diri untuk ‘Kembali ke Khittah 1926’ yaitu untuk tidak lagi berpolitik praktis.
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada Pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi DPR dan Bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid Sebagai Presiden RI. Pada Pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.

G.    Perkembangan NU
Perkembangan kontemporer pemikiran keagamaan (Islam) dalam komunitas NU menunjukkan fenomena yang menarik, terutama yang digalang kader mudanya. Mereka mempunyai gagasan keagamaan progresif dalam merespons modernitas dengan menggunakan basis pengetahuan tradisional yang mereka miliki setelah dipersentuhkan dengan pengetahuan baru dan berbagai khazanah modern.
Mereka tidak hanya concern dengan modernitas yang terus dikritik dan disikapi secara hati-hati, tetapi juga melakukan revitalisasi tradisi. Proses revitalisasi tradisi yang mereka lakukan tidak sekadar mengagung-agungkan dan mensakralkan tradisi, tetapi juga melakukan kritik secara mendalam atas tradisinya sendiri, baik yang berkaitan dengan perilaku maupun pemikiran. Bahkan, sendi-sendi doktrinnya sendiri seperti doktrin ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah tidak lepas dan sasaran kritisismenya. Pikiran dan sikap mereka secara umum jauh lebih responsif dibanding seniornya dalam menghadapi modernitas.
Munculnya gairah barn intelektualisme NU tidak lepas dan keputusan NU meninggalkan hiruk-pikuk kehidupan politik praktis dengan konsep kembali ke khitah 1926 pada 1984. Dengan keputusan itu, warga dan elite NU tidak lagi disibukkan urusan-urusan politik praktis sehingga mempunyai waktu lebih banyak untuk memperhatikan masalah pendidikan. Selah itu, terpilihnya Kyai Achmad Siddiq sebagai Rais ‘Aam Syuriyah dan Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Tanfiziyah PB NU pada Muktamar di Situbondo tahun 1984 mempunyai pengaruh signifikan perkembangan pemikiran keagamaan NU.
Dalam konteks inilah, Muktamar Pemikiran Islam di NU mempunyai makna yang strategis untuk terus menjadikan NU sebagai eksemplar gerakan intelektual, bukan semata-mata sebagai gerakan politik.
Komunitas NU dikenal sebagai masyarakat “tradisional”. Tradisionalisme itu di satu pihak merupakan hambatan perkembangan NU, di pihak lain hal itu sekaligus merupakan modal sosial-intelektual dan kekuatan bagi NU. Artinya, apa pun upaya yang dilakukan untuk “mengubah wajah NU” harus berangkat dari realitas masyarakat NU sendiri. Tradisionalisme itu biasanya ditandai beberapa hal. Pertama, komunitas ini sebagian besar tinggal di pedesaan, meski belakangan terjadi mobilitas vertikal di kalangan elite pedesaan ini, terutama kalangan muda NU terpelajar. Mereka tidak lagi tinggal di pedesaan, tetapi mulai menjadi agen-agen perubahan di perkotaan. Meski demikian, sebagian besar warga NU tetap tinggal di pedesaan dengan karakternya sendiri. Salah satu karakter pedesaan adalah kurang dinamis, sulit melakukan perubahan, dan lebih bersifat defensif terhadap modernitas.
Kedua, NU mempunyai dasar-dasar dan kekayaan intelektual yang senantiasa diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui lembaga pesantren. Karena kekayaan itu sehingga menjadikan NU amat apresiatif terhadap pemikiran lama meski oleh kalangan tertentu diklaim sebagai bid’ah dan khurafat. Dengan kaidah al-muhâfazah ‘ala al-qadim al-shâlih wa al-akhzu bi al-jadId al-ashlãh (memelihara [hazanah] lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik), kekayaan intelektualisme ini terbentang mulai zaman Nabi Muhammad, zaman klasik, pertengahan hingga zaman modern. Khazanah ini merupakan modal kultural-intelektual yang luar biasa bagi NU untuk berdialektika dengan modernitas.
Ketiga, NU mempunyai lembaga pendidikan yang cukup mapan sebagai basis transmisi keilmuan, yaitu pesantren. Dengan berbagai kekhasan dan subkulturnya, pesantren terbukti mampu bertahan dalam masyarakat yang terus berubah. Meski banyak kritik yang ditujukan kepada lembaga pendidikan tradisional ini, seperti kepemimpinan kyai yang amat kharismatik, tidak menumbuhkan kritisisme santri, pengajarannya tidak terprogram dan sebagainya, pesantren mempunyai kekuatannya sendiri berupa “nilai” yang tidak dimiliki lembaga lain.