AHLUSSUNNAH WALJAMA’AH
MENURUT NAHDLATUL ULAMA
A. Pendahuluan
Alhamdulillah,
segala puji bagi Allah yang telah menunjukkan hamba-Nya ke jalan yang
lurus, sederhana dan
mudah dilaksanakan. Makalah
singkat ini dibuat
untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Sosial di Program Pascasarjana
(S3) di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Semoga makalah yang singkat ini ada guna dan
manfaatnya. Makalah ini sesuai
dengan rencana Disertasi
penulis berjudul: Paham Ahlussunnah Waljama’ah
Menurut Nahdlatul Ulama,
dengan permasalahan pokok
: bagaimana NU sebagai organisasi memahami Ahlussunnah Walajama’ah ? dan
mengapa NU memahami Ahlussunnah Walajama’ah seperti itu ?. Masalah ini diambil,
mengingat NU adalah organisasi
keagamaan Islam terbesar
di Indonesia, yang di
dalam anggaran dasarnya secara
eksplisit menyatakan berpaham Ahlussunnah Walajama’ah. Di samping itu,
Ahlussunnah Walajama’ah adalah symbol keselamatan umat Islam, sehingga menjadi
klaim setiap muslim
bahwa dialah ahlussunnah
waljama’ah dan dialah
orang atau golongan yang selamat
dari api neraka.
Sejarah berdirinya
Nahdlatul Ulama (NU),
di Surabaya sering
dihubungkan dengan situasi Indonesia
saat itu, terutama
munculnya kelompok pembaharu, Muhammadiyah, sehingga
NU berdiri dianggap
sebagai reaksi terhadap
kelompok pembaharu di Indonesia.
Namun sebab langsung
berdirinya NU tidak
banyak berhubungan dengan
munculnya reformisme di
Surabaya, dan tujuan-tujuan
awalnya bersifat lebih terbatas
dan konkrit dibandingkan
dengan usaha melakukan
perlawanan terhadap serangan kaum pembaharu.
Lahirnya NU
banyak dipengaruhi oleh peristiwa Internasional. Sejak awal tahun 1924
telah tersiar berita
bahwa khalifah Abd.
Majid telah dipecat
oleh pemimpin nasionalis Turki,
Mustafa Kemal. Selanjutnya menyusul berita bahwa para ulama Mesir di bawah
pimpinan Syaikh al-Azhar
akan menyelenggarakan pertemuan
iternasional membahas soal khilafah.
Dalam situasi hampir bersamaan, terjadi penyerangan Abd Aziz Ibn Suud, yang didukung oleh aliran wahabi,
terhadap Syarif Husein di Arab Saudi dan menaklukkannya.
Menghadapi
peristiwa tersebut, maka di Surabaya
diselenggarakan pertemuan, 4 Agustus 1924, yang dihadiri para tokoh Syarikat Islam
(SI), Muhammadiyah, al-Irsyad, al-Ta’dibiyah, Tashwir
al-afkar, Ta’mir al-Masajid,
dan perhimpunan lain.
Pertemuan memutuskan
membentuk komite khilafah dan akan
menyelenggarakan persidangan luar biasa
kongres al-Islam untuk mengirim delegasi ke Kairo.
Kongres yang
diadakan kemudian menyepakati beberapa agenda masalah, antara lain soal
keagamaan yang diperselisihkan, dan
rencana pengiriman delegasi
ke Kairo.
Akan tetapi di dalam perjalanan ternyata
terjadi lobo-lobi di antara para peserta
kongres yang terdiri dari
berbagai organisasi. Akhirnya,
kelompok tradisional menyetakan mundur dari kongres dan membentuk
komite Hijaz, yang akan mengirim utusan
sendiri ke Arab Saudi. Pada
akhir pertemuan, 31 Januari
1926, komite Hijaz dibubarkan,
dan Martin Van Bruenessen, NU Tradisi, Relasi-relasi Kuasa Pencarian
Wacana Baru, (Jogyakarta : Lkis 1994), Cet. I, Hal. 150.
Donald Eugene
Smith, Politics and Sicial Change in the Thrith World, (Macmillan Publishing :
The Free Press, Co., Inc. 1974), Hal. 57-66.
Menjilma menjadi
orgaisasi formal yang
bernama Nahdlatul Ulama
(NU). Sehingga tanggal tersebut
merupakan hari ulang tahun berdirinya NU.
Dengan demikian,
dapat saja dikatakan
bahwa NU lahir sebagai
reaksi terhadap para pembaharu
di Indonesia, tetapi
yang jelas lebih banyak dipengaruhi oleh masalah
keagamaan internasional yang
berkembang saat itu.
Hal itu dapat
dibuktikan dengan kenyataan bahwa
sebelum peristiwa pemecatan
terhadap khalifah Abdul
Majid oleh Mustafa Kemal di Turki
dan penyerangan oleh Abdul Aziz Ibnu
Suud terhdap Syarif Husein di Arab Saudi terjadi, para
tokoh tradisional dan tokoh
pembaharu dapat bekerja sama, bahu membahu mengembangkan ajaran Islam dan
memberdayakan ummat. Kerja sama itu
misalnya lewat forum
diskusi dan tukar
pikiran yang diadakan melalui wadah Tashwir al-Afkar, yang
melibatkan para tokoh pembaharu dan tradisional seperti: Mas Mansyur,
Muhammadiyah, Abdul Wahab Hasbullah, NU, dan lain-lain.
B. Paham Ahlussunnah
Waljama’ah.
Ahlussunnah
Walajama’ah adalah aliran pemahaman keagamaan yang bercita-cita
mengamalkan syari’at Islam
secara murni, sesuai yang dikehendaki oleh Allah. Mereka harus memahami
wahyu yang bersifat ghaib dan disampaikan dalam ke-ghaib-an. Untuk itu tidak
ada yang patut mengaku sebagai
pengamal syari’at Islam
secara mutlak benar kecuali Rasul, karena dialah yang menerima dan
dituntun wahyu sesuai kehendak Allah.
Selain
Rasul, para sahabat
yang selalu dekat dengannya
adalah umat Islam
yang kwalitas pemahaman terhadap
wahyu mendekati sempurna, karena mereka
tahu persis M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia
Pendekatan Fikih Dalam Politik, (Jakarta:PT.Gramdia Pustaka Utama 1994) Hal.
41-3. Bagaimana Nabi Muhammad memahami
dan mengamalkan wahyu. Mereka yang disebut Ahlussunnah Waljama’ah.
Umat Islam
dituntut memahami dan
mengamalkan syari’at Islam
sesuai kehendak Allah,
sebagaimana diamalkan oleh Nabi dan para
sahabatnya. Tetapi wahyu sudah
tidak turun lagi,
yang tinggal hanya
catatan berupa mushaf al-qur’an,
dan Nabi sebagai patron
ajaran Islam sudah
tiada, hanya meninggalkan sunnah,
berupa ucapan, perbuatan dan ketetapan yang tercatat
di dalam beberapa kitab hadis. Begitu
juga para sahabat, hanya meninggalkan atsar, bekas, maka untuk memenuhi
tuntutan tersebut umat Islam hanya dapat melakukannya melalui proses
identifikasi terhadap pemahaman
dan pengamalan ajaran Islam yang
dilakukan oleh Nabi dan para sahabatnya.
Sudah barang tentu, yang namanya
identifikasi tidak akan
sama persis. Oleh
karena itu, para
ulama mencoba untuk mengidentifikasi beberapa
kelompok pemahaman yang
hampir sama dengan amalan Nabi
dan para sahabat, yang disebut Ahlussunnah Waljama’ah.
Terdapat delapan
kelompok pemahaman yang telah teridentifikasi oleh para ulama sebagai
pendukung Ahlussunnah Waljama’ah. Yaitu, Ulama kalam seperti al-Asy’ari dan
al-Maturidi, Ulama fikih
seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i,
Ahmad Ibn Hanbal,
al-Auza’iy, al-Tsauriy, Ibn Abi Laila dan Daud al-Dhahiriy. Ulama Hadis,
para ahli bahasa seperti Sibawaihi, Farra’ dan Asmu’iy, Ahli ilmu qira’at.
Ulama tasawuf, pejuang militer seperti Shalahuddin al-Ayyubiy, dan pendukung
syi’ar Ahlussunnah Waljama’ah. Namun demikian, ada yang membatasi Ahlussunnah
Waljama’ah hanya berkaitan dengan
fikih saja. Ahlussunnah Waljama’ah berarti
beberapa orang yang melestarikan sunnah Rasul dan para
sahabatnya. Mereka memakai kitab Allah, Sunnah Rasul, Ijma’ al-Einar Martahan
Sitompul, Nahdlatul Ulama Dan Pancasila, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1996)
Hal.70.
Ummat dan
Qiyas, analogi, sebagai
dalil syara’ dan
memandangnya sebagai sumber istinbath hukum.
Bahkan berdasarkan
sejarah, ada yang
membatasi Ahlussunnah
Waljama’ah hanya dalam
bidang akidah, ushuluddin
atau teologi saja,
sehingga yang termasuk
Ahlussunnah Walajama’ah hanya terdiri dari tiga kelompok.
Pertama, Ahl
al-Atsar, pengikut Imam Ahmad Ibn Hanbal, dengan ciri membatasi beberapa kajiannya berdasarkan dalil naqliyah, al-Qur’an dan Hadis, dan
sedikit sekali menggunakan dalil
aqliyah. Mereka tidak
mau mentakwilkan, menjelaskan, menggunakan rasio,
terhadap beberapa ayat
mutasyabihat, ayat yang
memiliki kemungkinan arti atau makna
lebih dari satu,
juga tidak suka
memastikan maknanya, menyerahkan
secara bulat pengertian ayat mutasyabihat kepada Allah.
Kedua, al-Asya’irah,
pengikut Imam Abu
al-Hasan al-Asy’ari. Golongan
ini memperluas kajian masalah
Ilmu Kalam, memakai dalil aqliyah
lebih banyak meskipun tetap
mempertahankan keunggulan dalil
Naqliyah. Mereka kurang
tertarik membahas beberapa ayat
Mutasyabbihat sampai mendalam. Golongan ini menjadi mayoritas ummat sampai sekarang,
karena pengaruh kegiatan penyebaran wawasannya, terutama melalui beberapa kitab pendukungnya.
Ketiga,
al-Maturidiyah, pengikut Imam Abu Manshur al-Maturidi, dengan metode yang menyerupai
golongan al-Asy’ariyah, malah
dalam beberapa hal,
lebih bebas menggunakan dalil
akal dan banyak
menggunakan takwil terhadap
semua ayat Mutasyabbihat.
C. Paham Ahlussunnah
Waljama’ah Menurut NU.
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi
Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta : LP3ES 1982)
Hal.148-160.
Nahdlatul Ulama
mencoba untuk mengakomodir
Ahlussunnah Waljama’ah
sebagaimana tersebut di
atas dengan batasan
yang lebih sederhana.
Ahlussunnah Walajama’ah menurut NU
adalah mereka yang mengikuti metode berpikir, manhaj al-fikr, di
dalam bidang akidah mengikuti
madzhab al-Asy’ari dan
Maturidi, di dalam bidang fikih mengikuti salah stu Imam
empat, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali serta di dalam bidang tasawuf
mengikti madzhab Junaid al-Baghdadi dan diteruskan oleh al-Ghazali yang
tereduksi di dalam kitab Ihya’
Ulum al-Din.
Batasan tersebut diambil oleh NU karena: Pertama,
Syari’at Islam secara global dapat dibagi menjadi tiga aspek, yaitu syari’at
dalam arti hukum, baik ibadah maupun mu’amalah, akidah dan tasawuf atau akhlak,
baik yang berhubungan antara
manusia dengan sesama
manusia maupun hubungan
antara manusia dengan Tuhan.
Kedua, NU
mengambil jalan tengah
di antara dua
kutub ekstrim, yaitu
antara rasioalis dengan
tekstualis, karena jalan
tengah atau moderat itu
dianggap yang paling selamat di
antara yang selamat, sehingga NU mengakui bahwa madzhab yang diikutinya
mengandung kemungkinan lebih besar berada di dalam jalur kebenaran dan
keselamatan.
Hal ini
juga dapat berarti
bahwa kebenaran yang
diikuti dan diyakini
oleh NU hanya bersifat kemungkinan
dan bukan kemutlakan,
dalam arti mungkin
benar dan bukan mutlak benar. Oleh karena kebenaran yang
diikuti dan diyakini hanya bersifat mungkin, maka dapat berarti juga mungkin
salah. Hal ini dapat dilihat pada alasan ketiga.
Ketiga, kebenaran
yang didasarkan atas
hasil identifikasi akal
pikiran tidak ada yang mutlak, sehingga memungkinkan adanya
beberapa alternatif pilihan sesuai
dengan situasi dan kondisi.
Beberapa alternatif pilihan
tersebut dimungkinkan dalam
rangka
Ibid., Hal.149.
Menyesuaikan diri dengan
situasi dan kondisi lingkungan masyarakat setempat. Karena ajaran Islam bersifat
universal dan berlaku sepanjang zaman, kapan saja dan di mana saja.
Keempat, Islam
adalah rahmat bagi seluruh
alam. Alam ini tidak
sama di setiap lokasi. Dengan
prinsip ini, maka
Islam mesti dapat
beradaptasi dengan budaya
local. Artinya Islam tidak harus seragam di seluruh dunia, Islam menerima keragaman sesuai dengan budaya setempat. Oleh karena itu,
Islam di Indonesia adalah
Islam yang sesuai dengan budaya
bangsa Indonesia.
Pemikiran NU
dalam merumuskan paham
Ahlussunnah Waljama’ah seperti tersebut di
atas, dilatar belakangi
oleh sejarah Islam masuk
ke Indonesia. Islam
yang masuk ke Indonesia
bercorak sufistik, bermadzhab
fikih Syafi’i dan
berpaham teologi Asy’ariyah. Islam
yang bercorak sufistik,
menyebabkan Islam mudah
diterima oleh bangsa Indonesia
tanpa gejolak, yang
sebelumnya bangsa Indonesia
telah memiliki kepercayaan Hindu-Budha.Begitu juga
dengan madzhab Syafi’i
di bidang fikih
dan paham Asy’ariyah di bidang teologi, yang berkembang di Indonesia,
mempengaruhi umat Islam Indonesia bersikap
moderat antara tekstualis
dan rasionalis. Sehingga
Islam di Indonsia penuh dengan
toleransi, adaptasi dan asimilasi terhadap budaya setempat.
Dalam pandangan
NU, paham Ahlussunnah Waljama’ah juga berkaitan erat dengan faktor sejarah
perkembangan Islam secara
keseluruhan, dan faktor
metodologis mulai awal Islam sampai hari ini.
Faktor sejarah,
mengacu kepada sekelompok sahabat dan generasi sesudahnya yang selalu bersikap
tawasuth, mengambil jalan
tengah, tawazun, seimbang,
di dalam menyelesaikan setiap
persoalan, dan bersikan
tasamuh, toleran, adil,
netral, di dalam menghadapi perselisihan. Einar Martahan
Sitompul, Op. Cit., Hal.36-7.
Pada saat
terjadi perselisihan politik
antara sahabat Ali
Ibn Abi Thalib
dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan,
telah terdapat beberapa sahabat
yang netral dan menekuni bidang keilmuan. Sikap netral
seperti itu juga dilanjutkan oleh beberapa tokoh tabi’in dan tabi’ al-tabi’in.
Sejak kematian
Ali Ibn Abi Thalib pada tahun 40 H. atau 661 M. umat Islam telah terpecah
menjadi tiga golongan. Yaitu:
1.
Golongan Syi’ah yang
mencintai Ali dan
keluarganya serta membenci
Muawiyah Ibn Abi Sufyan.
2.
Golongan Khawarij yang
tidak memihak kepada
Ali Ibn Abi
Thalib maupun Muawiyah, bahkan memusuhi keduanya.
3.
Sebagian kaum muslimin yang mengakui kekhalifahan Muawiyah.
Dalam kondisi
seperti ini terdapat
sejumlah sahabat antara
lain: Ibn Umar,
Ibn Abbas, Ibn Mas’ud dan
lain-lain, yang menghindarkan
diri dari konflik
dan menekuni bidang keilmuan dan keagamaan.
Dari kegiatan
mereka inilah kemudian
lahir sekelompok ilmuan
sahabat, yang mewariskan tradisi
keilmuan itu kepada generasi berikutnya. Selanjutnya melahirkan para
muhadditsin, ahli Hdits,
Fuqaha’, para ahli
fikih, mufassirin, para
ahli tafsir, dan mutakallimin, para ahli ilmu kalam. Kelompok ini selalu berusaha
untuk mengakomodir semua kekuatan, model
pemikiran yang sederhana,
sehingga mudah diterima
oleh mayoritas umat Islam.
Faktor
metodologis, berkaitan erat dengan pemahaman ajaran Islam. Bahwa untuk
memahami ajaran Islam
secara benar, harus melalui mata
rantai pewarisan pemahaman secara benar dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Kebenaran mata rantai pewarisan pemahaman ajaran Islam, dapat diukur dengan kesinambungan hubungan
guru-murid secara langsung
sampai kepada Nabi.
Untuk memahami ajaran Islam
yang berupa wahyu,
secara benar tidak
cukup hanya melalui beberapa
catatan mushaf al-qur’an dan beberapa catatan hadits, tetapi harus juga melalui
jalur penghayatan yang berupa
sikap dan perilaku. Hal itu dapat
dicapai hanya dengan melihat dan terlibat langsung
dalam penghayatan dan
pengamalan antara yang mewariskan dan
yang mewarisi. Oleh
karena itu, perlu
madzhab, yaitu jaringan pemahaman ajaran Islam.
Kebenaran yang
dapat dipertanggung jawabkan,
diukur dari metode yang dipakai
atau jalan pikiran yang ditempuh
seseorang untuk sampai kepada kesimpulan pendapat mengenai
penghayatan dan pengamalan tersebut, sehingga dapat diuji kebenarannya. Hal itu
dapat dicapai melalui dokumen yang benar berupa beberapa buku atau beberapa
kitab yang telah tertulis, sehingga dapat dicek kebenarannya oleh siapa saja
dan kapan saja.
D. Kesimpulan, penutup.
Pemahaman
NU terhadap ahlussunnah waljama’ah dapat
diringkas dengan cukup sederhana,
yaitu: syuhud ain
al-syari’ah, moderasi antara
akal dan nakl
dan hakekat kebenaran.
Syuhud ain
al-syari’ah, berarti bahwa yang tahu
persis tentang bentuk dan rahasia syari’ah
hanyalah Allah, yang
selanjutnya diberitahukan kepada
Rasul melalui wahyu secara rahasia. Selanjutnya Rasul melakukan
syari’ah tersebut diikuti oleh para
sahabat, diteruskan kepada tabi’in,
tabi’ al-tabi’in dengan
cara yang sama,
sampai kepada para ulama dan umat
secara keseluruhan, sambung sinambung sampai hari ini.
Moderasi antara
akal dan nakl,
berarti bahwa di
dalam memahami dan mengamalkan syari’ah
harus menggunakan segala
sumber dan potensi,
baik berupa wahyu maupun akal. Keduanya harus
digunakan secara seimbang.
Sebab wahyu tanpa akal tidak mungkin
dapat dipahami dan
diterima, begitu juga
akal tanpa wahyu
tidak mungkin mengetahui syari’ah sesuai yang dikehendaki oleh Allah.
Oleh karena itu akal dan wahyu harus
digunakan secara seimbang dalam rangka mengetahui dan memahami maksud
syari’ah yang dikehendaki Allah.
Sedangkan hakekat
kebenaran menurut NU adalah
bahwa kebenaran yang
hakiki adalah kebenaran yang
bersumber pada wahyu.
Kebenaran wahyu bersifat
mutlak, sedangkan kebenaran yang
dihasilkan oleh akal
pikiran bersifat nisbi,
relatif. Dengan demikian tidak ada klaim yang paling benar terhadap keputusan akal pikiran. Keputusan
akal pikiran hanya
mampu menciptakan beberapa
alternatif yang bersifat
sementara, sehingga memungkinkan adanya beberapa pilihan. Beberapa
pilihan tersebut disesuaikan dengan tempat, situasi dan kondisi. Oleh karena
itu NU sangat menghargai perbedaan dan penuh toleransi.
Demikian makalah singkat ini
dibuat dengan segala keterbatasan, semoga ada guna dan manfaatnya. Amin.
SEJARAH NU
(Nahdlatul Ulama)
Republika,
24 Maret 2010
PERJALANAN
NU
31
Januari 1926
Komite
Hejaz bertemu di Lawang Agung, Ampel, Surabaya dan sepakat mendirikanJam’iyah
Nahdlatul Ulama dengan rais akbar pertama KH. Hasyim Asy’arie.
Tahun
1937
NU
membidani kelahiran Al Majlisul Islamy al A’la Indonesia (MIAI) yangmerangkum
berbagai ormas Islam)
24
Oktober 1943
MIAI
akhirnya menjadi Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) dengan Wahid Hasyim
menjadi ketua.
07
Nopember 1945
Melalui
kongres di Yogyakarta, Masyumi menjadi partai politik umat Islam satu-satunya.
NU kemudian mengeluarkan fatwa jihad untuk pertempuran Surabaya melawan
Inggris.
28
April – 1 Mei 1952
Muktamar
NU di Palembang memutuskan NU keluar dari Masyumi
Tahun
1953
NU
memproklamirkan diri sebagai partai politik
Tahun
1955
Dalam
pemilu pertama, partai NU meraup suara terbesar ke tiga dari 29 partai peserta
pemilu dengan 18,4 % suara
Tahun
1966
NU
terlibat dalam pemberantasan PKI
Tahun
1971
Dalam
pemilu pertama masa orde baru, partai NU memperoleh suara terbesar ke dua
setelah Golkar.
Tahun
1979
Dalam
Muktamar NU ke 26 di Semarang, muncul gagasan kembali ke khittah 1926 untuk
melepaskan NU dari politik praktis
Tahun
1984
Muktamar
ke NU 27 di Situbondo memutuskan kembali ke khittah 1926 dan keluar dari arena
politik praktis. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terpilih sebagai ketua umum PBNU.
Tahun
1994
Gus
Dur terpilih kembali menjadi ketua umum PBNU untuk ke tiga kalinya.
23
Juli 1998
PKB
menjadi wadah politik kaum Nahdliyin
Mei
– September 2004
KH.
Hasyim Muzadi yang terpilih menjadi Ketua Umum PBNU pada Muktamar Kediri 1999
maju sebagai wakil presiden mendampingi Megawati Soekarnoputri dalam pemilihan
presiden
PRA
PEMBENTUKAN JAM’IYAH NU DAN GERAKAN PEMBAHARUAN ISLAM
Gerakan pembaharuan adalah gerakan yang mengajak kembali
kepada al-qur’an dan sunnah tanpa berpegang kepada madzhab dan membuat
madzhab/ijtihad sendiri-sendiri. Gerakan ini bermula di Saudi Arabia yang
dipelopori oleh Abdul Wahab dan di Mesir oleh Muhamad Abduh dan Rasyid Ridha
sebagai muridnya. Gerakan ini di respon positif di Indonesia dengan berdirinya
Muhammadiyah.
Di Cirebon, Jawa Barat pada tahun 1921, diadakanlah Kongres
Islam, dalam Kongres yang berlangsung tanggal 31 Oktober – 2 Nopember 1922
dibawah pimpinan Cokroaminoto dan Agus Salim tersebut muncul perdebatan yang
cukup sengit. Perdebatan itu terjadi antara ULAMA TRADISIONAL yang diwakili
oleh KH. Raden Asnawi dan KH. Abdul Wahab Chasbullah dengan kalangan
MUHAMMADIYAH dan AL-IRSYAD yang diwakili oleh KH. A. Dahlan dan Ahmad Surkati.
Perdebatan tersebut berkisar antara menganut madzhab atau tidak menganut
madzhab. KALANGAN TRADISIONAL MENGANGGAP Muhammadiyah mau membuat madzhab baru
dan seenaknya menafsirkan al-qur’an dan sunnah tanpa merujuk kepada madzhab
para ulama terdahulu, sementara MUHAMMADIYAH MENGANGGAP kalangan tradisional
yang berpegang kepada madzhab sebagai penyebab bekunya gerakan (pembaharuan)
Islam.
Sejak itu interaksi antara kalangan tradisional yang
berpusat di pesantren dan kalangan Muhammadiyah (kalangan pembaharu) kurang
harmonis.
Sementara itu pada tahun 1923 di Semenanjung Arab terjadi
pertempuran sengit antara pasukan Ibnu Sa’ud yang mengikuti faham wahabi
melawan pasukan Syarif Husen sebagai khalifah kaum Muslimin seluruh dunia,
mereka khawatir jika Ibn Sa’ud memaksakan faham yang ia anut dan memburu kaum
pembaharu yang sedang melakukan propaganda di Indonesia.
Kemudian pada tanggal 25 Desember 1924 diadakanlah kongres
Islam luar biasa yang membicarakan tentang pengiriman wakil Indonesia ke
KONGRES KHILAFAH SE DUNIA yang akan diadakan di Kairo pada bulan Maret 1925,
yang kemudian disusul dengan KONGRES ISLAM CENTRAL COMITE KHILAFAH di
Yogyakarta pada awal tahun 1925, kemudian dalam kongres tersebut kalangan ulama
tradisional yang diwakili oleh KH. Abdul Wahab Chasbullah mengusulkan agar
delegasi yang dikirim ke kongres sedunia tersebut mendesak raja Ibnu Sa’ud
supaya memberlakukan kebebasan bermadzhab di tanah Hijaz, namun usul tersebut
tidak di respon oleh para anggota kongres yang sebagian besar kaum pembaharu.
Atas tidak diresponnya usul KH. Abdul Wahab Chasbullah,
akhirnya KH. Abdul Wahab Chasbullah dan KH. Raden Asnawi yang mewaakili
kalangan ulama trasdisional tersebut membuat KOMITE HIJAZ. Kemudian pada
tanggal 31 Januari 1926, Komite Hijaz mengundang ulama se Jawa dan Madura untuk
melakukan muktamar di Surabaya yang memutuskan :
1.
Mengirim utusan
menemui raja Sa’ud untuk meminta kepadanya agar memberikan kebebasan bermadzhab
dengan cara agar hukum menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan
Hambali) di tanah Hijaz tetap diberlakukan dan dilindungi serta, tidak
memaksakan faham wahabinya.
2.
Oleh karena saat
itu para ulama merasa bingung atas nama apa dan siapa mereka mengutus delegasi,
maka KH. Mas Alwi menguslkan saat itu juga agar utusan itu berbicara atas nama
jam’iyah Nahdlatul Ulama, dan usulnya disetujui oleh para mu’tamirin. Dan saat
itulah berdirinya organisasi NU.
3.
Kemudian delegasi
yang diutus ke Hijaz, Makkah untuk menghadiri kongres Islam dan menemui raja
Sa’ud yang di pimpin oleh Syekh Ghanaim dari Mesir, telah berhasil sukses
membawa misi-misi komite Hijaz tersebut.
Kesimpulan
:
A.
Dari uraian-uraian di atas dapat ditarik benang merah dengan cara memecah-mecah
kelompok kepentingan, yaitu :
1.
Kelompok gerakan
pembaharuan yang dipelopori oleh Abdul Wahab (Saudi Arabia), Muhammad Abduh dan
Rasyid Ridho (Mesir), Muhammadiyah yang dipimpin oleh KH. Ahmad Dahlan
(Indonesia) dan Al-Irsyad yang di pimpin oleh Ahmad Sukarti (Indonesia). =
Kelompok-kelompok yang tidak bermadzhab dan menjadikan ijtihad yang menjadi
madzhab bagi dirinya dalam memahami al-qur’an dan sunnah.
2.
Kelompok Wahabi
yang diwakili oleh raja Sa’ud = kelompok yang akan memaksakan faham / madzhab
wahabi dalam memahami al-qur’an dan sunnah
3.
Kelompok ulama
tradisional yang membentuk komite Hijaz dan mendiririkan organisasi Nahdlatul
Ulama (NU) yang diwakili oleh KH. Raden Asnawi, KH. Abdul Wahab Chasbullah dll.
= kelompok yang menekankan perlunya bermadzhab terutama terhadap madzhab empat
(Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) sebagaimana yang telah diakui dan
diterapkan di Indonesia dan saat ini pemikiran kelompok ini mengalami kemajuan
yang jauh lebih pesat meninggalkan pemikiran-pemikiran kelompok-kelompok
gerakan pembaharu.
4.
Kelompok Syarief
Husen khalifah kaum muslimin = ……?
B.
Bahwa, dengan berhasilnya misi-misi komite Hijaz yang dibentuk oleh para
pendiri Nahdlatul Ulama, pertempuran-pertempuran sengit yang terjadi di Timur
tengah dapat diatasi dan hukum menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i
dan Hambali) dapat diberlakukan, di lindungi dan dibebebaskan di wilayah
kekuasaan raja Sa’ud di tanah Hijaz dan tidak memaksakan faham wahabinya.
SEJARAH
PEMBENTUKAN JAM'IYAH NU DAN KEPENGURUSANNYA
Saat terjadi pergolakan di Timur Tengah mengenai
"perselisihan antara menganut faham islam bermadzhab dan tidak
bermadzhab" yang ditandai dengan munculnya khilafat baik di Turki maupun
di Saudi Arabia, yang sangat berpengaruh terhadap akidah ahlus sunnah wal
jama'ah, umat Islam Indonesia membentuk komite Hijaz untuk menghadiri undangan
raja Sa'ud dalam acara kongres Islam.
Dinamakan komite Hijaz karena komite ini dibentuk untuk
menghadiri kongres islam di Hijaz, Makkah untuk meredam pergolakan tersebut.
Komite Hijaz sendiri dibentuk atas inisiatif KH. Abdul Wahab Chasbullah yang
kepemimpinannya diambil dari pengurus2 forum tashwirul afkar, nahdlatul wathan
dan syubbanul wathan yang kesemuanya dibentuk oleh beliau.
Komite Hijaz tersebut dipimpin oleh KH. Bisri Syansuri dari
Denanyar, Jombang, KH. Ridwan dari Semarang, KH. Raden Asnawi dari Kudus, KH.
Nawai dari Pasuruan, KH. Nahrawi dari Malang, KH. Alwi Abd. Aziz dari Surabaya,
kemudian kiai2 tersebut berkumpul di surabaya pada tanggal 31 Januari 1926 dan
memutuskan :
1.
Memimpin delegasi
ke kongres dunia islam demi memperjuangkan kepada raja Ibnu Sa'ud agar hukum
menurut empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi'i dan Hambali) mendapat
perlindungan dan kebebasan di wilayah kekuasaannya.
2.
Membentuk suatu
jam'iyah bernama Nahdlatul Ulama (kebangkitan Para Ulama) yang berjuang
menegakan syari'at Islam yang berhaluan salah satu dari empat madzhab.
Untuk sementara kepengurusan syuriah dan tanfidziah
dipercayakan kepada KH. Alwi Abdul Aziz dari Surabaya, sementara delegasi ke
Makkah untuk menghadiri kongres Islam di pimpin oleh Syekh Ghanaim telah
berhasil sukses membawa misi komite Hijaz tersebut.
Kemudian untuk kepengurusan NU, KH. Abdul Wahab Chasbullah
tidak bersedia menduduki jabatan rais akbar sebagai pucuk pimpinan di NU dan
beliau menyerahkan jabatan itu kepada KH. Hasyim Asy'ari sebagai gurunya dan
wakilnya KH. Ahmad Dahlan dari Surabaya, sementara ketua tanfidziah
dipercayakan kepada H. Hasan Gipo, dan KH. Abdul Wahab Chasbullah merasa cukup
sebagai katib aam syuriyah.
(diambil dari buku berjudul 99 Kiai Kharismatik Indonesia,
Buku Kedua, Cetakan ke II, Penerbit Kutub, Yogyakarta dengan pengarang KH. A.
Aziz Masyhuri, Jombang)
KH.
ABDUL WAHAB CHASBULLAH
KETURUNAN
JOKO TINGKIR :
Kiai Whab Chasbullah lahir dari pasangan Chasbullah dan Nyi
Latifah, pada bulan Maret 1888 di Tambak Beras, Jombang. Keluarga kiai
Chasbullah, pengasuh pondok Tambak Beras, masih mempunyai hubungan kekerabatan
dengan orang yang paling masyhur di abad ke 20 yang sama dari jombang, yaitu
KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai Sichah yang juga leluhur kiai KH. Hasyim Asy’ari.
Nasab keduanya bertemu dalam satu keturunan dengan kiai Abdussalam. Konon jika
diurut dari atas, nasab keluarga ini akan bermuara pada Lembu Peteng, salah
seorang raja di Majapahit.
LAHIR
DAN BESAR DI PONDOK PESANTREN :
Memasuki usianya yang ke tujuh tahun, Abdul Wahab mulai mendapatkan
pelajaran agama secara intensif. Selama enam tahun awal pendidikannya, ia di
didik langsung oleh ayahnya, dengan demikian Abdul Wahab menyelami pesantren
sejak dini.
Selama kurang lebih 20 tahun, secara intensif ia menggali
pengetahuan keagamaan di beberapa pesantren. Diantara pesantren yang pernah
disinggahinya adalah pesantren Langitan Tuban, pesantren Mojosari Nganjuk,
pesantren Cempaka, pesantren Tawangsari sepanjang, pesantren Kademangan
Bangkalan Madura, pesantren Branggahan Kdiri, dan pesantren Tebuireng Jombang
dibawah pimpinan KH. Hasyim Asy’ari. Selama 4 tahun ia menjadi lurah pondok,
sebuah jabatan tertinggi yang dapat dicapai oleh seorang santri dalam sebuah
pesantren.
MENIKAH
:
Pada tahun 1914, Abdul Wahab Chasbullah menikah dengan puteri
kiai Musa yang bernama Maimunah, sejak itu ia tinggal bersama mertua di kampong
Kertopaten, Surabaya.
Sepeninggal isteri pertamanya di Makkah sewaktu menjalankan
ibadah haji tahun 1921, KH. Abdul Wahab Chasbullah memperisteri Alawiyah,
puteri Kiai Alwi. Setelah memperoleh seorang putera, isteri ke duanya ini pun
meninggal. Setelah itu KH. Abdul Wahab Chasbullah pernah tiga kali menikah
tetapi tidak berlangsung lama dan tidak dikaruniai anak, kemudian kawin lagi
dengan Asnah, puteri kiai Sa’id, pedagang dari Surabaya dan memperoleh empat
orang anak diantaranya KH. Najib Abdul Wahab yang selanjutnya mengasuh
pesantren Tambak Beras.
Setelah Asnah meninggal, kiai Wahab menikah dengan Fatimah,
anak H. Burhan tetapi tidak memperoleh keturunan tetapi memperoleh anak tiri,
diantaranya KH. A. Sajichu. Setelah itu KH. Abdul Wahab Chasbullah menikah
dengan Ashikhah, anak KH. Abdul Madjid Bangil, yang meninggal setelah beribadah
haji dan memperoleh empat orang anak. Terakhir kiai KH. Abdul Wahab Chasbullah
memperisteri Sa’diyah, kakak Ashikhah, sampai akhir hayatnya pada tahun 1971
dan memperoleh lima anak.
PENDIRI
SERIKAT ISLAM DI MAKKAH :
Setelah menjalani perjalanan intelektualnya, hamper sepenuh
hidupnya dihabiskan di dunia pesantren. Maka pada usia 27 tahun KH. Abdul Wahab
Chasbullah kemudian memperdalam pengetahuan keagamaannya di Makkah selama
kurang lebih lima tahun. Di Makkah ia beremu dengan ulama terkemuka dan
kemudian berguru kepadanya, diantaranya kiai Mahfudz dari Termas, kiai
Muchtarom dari Banyumas, Syekh Ahmad Khatib dari Minagkabau, Syekh Sa’id
Al-Yamami dan Syekh Ahmad Abu Bakri Saha. Di sana beliau tidak hanya sibuk
dengan kegiatan belajar, namun juga terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan
organisasi. Bahkan beliau bersama Abbas dari Jember, Asnawi dari Kudus dan
Dahlan dari Kertosono yang mempelopori berdirinya Syarikat Islam (SI) cabang
Makkah.
Dengan rangkaian perjalanan intelektual yang demikian
panjang, tidak mengherankan apabila pada usia 34 tahun KH. Abdul Wahab
Chasbullah telah menjadi pemuda yang menguasai berbagai disiplin ilmu
keagamaan, seperti ilmu tafsir, hadits, fiqih, akidah, tasawuf, nahwu shharaf,
ma’ani, manthiq, arudl dan ilmu hadlarah dari cabang ilmu diskusi dan retorika.
MENDIRIKAN
TASHWIRUL AFKAR :
Akhirnya bersama kiai mas Mansur, kawan mengaji di Makkah,
ia membentuk kelompok diskusi tashwirul afkar (pergolakan pemikiran) di
sdurabaya pada tahun 1914. Mula-mula kelompok ini mengadakan kegiatan dengan
peserta yang terbatas. Tetapi berkat prinsip kebebasan berfikir dan berpendapat
yang diterapkan dan topic-topik yang dibicarakan mempunyai jangkauan
kemasyarakatan yang luas, dalam waktu singkat kelompok ini sangat popular dan
menarik perhatian di kalangan pemuda. Banyak tokoh islam dari berbagai kalangan
bertemu dalam forum ini untuk mendebatkan dan memecahkan permasalahan pelik
yang dianggap penting.
Tashwirul afkar tidak hanya menghimpun kaum ulama pesantren,
ia juga menjadi ajang komunikasi dan forum saling tukar informasi antar tokoh
nasionalis sekaligus jembatan komunikasi antara generasi muda dengan generasi
tua. Dari posnya di Surabanya, kelompok ini menjalar sampai ke seluruh kota di
Jawa Timur. Bahkan gaungnya sampai ke daerah lain seluruh Jawa. Kelompok ini
tidak hanya mendiskusikan masalah-masalah kemasyarakatan yang muncul, tetapi
juga menggalang kaum intelektual dari tokoh-tokoh pergerakan. Jelas
pemrakarsanya memasukan unsur-unsur kekuatan politik untuk menentang penjajah.
Karena sifat rekrutmennya yang lebih mementingkan progresifitas berpikir dan
bertindak, maka jelas kelompok diskusi ini juga menjadi forum pengkaderan bagi
kaum muda yang gandrung pada pemikiran keilmuan dan dunia politik.
Bersama dengan itu, dari rumahnya di Kertopaten, Surabaya,
KH. Abdul Wahab Chasbullah masih bersama kiai mas Mansur menghimpun sejumlah
ulama dalam organisasi Nahdlatul Wathan (kebangkitan Tanah Air) yang telah
memperoleh kedudukan badan hukumnya pada tahun 1916. Dari organisasi inilah KH.
Abdul Wahab Chasbullah mendapat kepercayaan dan dukungan penuh dari ulama
pesantren yang kurang lebih sealiran dengannya. Diantara ulama yang berhimpun
itu adalah Kiai N. Alwi Abdul Aziz, kiai Ma’shum dan kiai Kholil dari Lasem.
MENDIRIKAN
NAHDLATUL WATHAN :
Tampilnya nahdlatul wathan sebagai lembaga pendidikan dalam
rangka menindaklanjuti rekomendasi Tashwirul Afkar antara lain telah membuka
jalur pendidikan sebagai jalur rekrutmen dan sosialisasi pilitik dalam
membangkitkan kesadaran nasional.
Sebagai lembaga pendidikan, Nahdlatul Wathan dibawah
pimpinan KH. Abdul Wahab Chasbullah telah berhasil mendirikan sekolah-sekolah
di berbagai daerah du Jawa timur, antara lain :
1.
Madrasah Ahloel
Wathan di Wonokromo,
2.
Madrasah Farol
Wathan di Gresik,
3.
Madrasah Hidayatul
Wathan di Jombang dan
4.
Madrasah Khitabatul
Wathan di Surabaya.
KH. Abdul Wahab Chasbullah juga mempunyai perhatian khusus
terhadap para pemuda. Untuk itu, KH. Abdul Wahab Chasbullah mengumpulkan
beberapa orang pemuda SYUBBANUL WATHAN (pemuda tanah air) pada tahun 1924.
Organisasi ini kemudian menjadi cikal bakal Gerakan Pemuda Anshar yang lahir pada
tahun 1934. Dikalangan pemudanya disediakan wadah syubbanul wathan (pemuda
tanah air) yang di dalamnya antara lain ada nama Abdul Ubaid. Dalam kelopok
inilah KH. Abdul Wahab Chasbullah mulai memimpin dan menggerakan perjuangan
pemikiran berdasarkan keagamaan dan nasionalisme, saying sekali hanya karena
perbedaan khilafiyah saja, duet KH. Abdul Wahab Chasbullah dan mas Mansur harus
retak dan kemudian berpisah. Jika tidak, mungkin perkembangan sejarah ormas
Islam atau lebih besar lagi umat islam Indonesia akan berbicara lain.
Perbedaan pandangan dengan mas Mansur tidak menjadikan KH.
Abdul Wahab Chasbullah mundur diri dari penggalangan pemikiran dikalangan
pemuda saat itu. Jiwanya yang bebas dan selalu ingin mencari penyelesaian
masalah menjadikan ia terus melakukan kontak dengan tokoh-tokoh pergerakan dan
tokoh-tokoh keagamaan lainnya. Dengan pendiri Al-Irsyad, Syeh Ahmad Surkati di
Surabaya, misalnya KH. Abdul Wahab Chasbullah tidak segan-segan melakukan
diskusi mengenai masalah keagamaan. Sedangkan KH. Abdul Wahab Chasbullah dengan
tokoh pendiri Muhammadiyah yaitu Kiai Ahmad Dahlan sering bertandang ke
Yogyakarta untuk bertukar pikiran dengannya.
Akan tetapi juga tidak bisa dihindari, karena terjadinya
gerakan kepentingan dan makin menajamnya perselisihan paham keagamaan antar
tokoh agama, timbul polarisasi yang ttajam di kalangan mereka, mesti tidak
sampai mengorbankan kepentingan yang lebih besar, yaitu cita-cita kemerdekaan
bangsa Indonesia. Kiai mas Mansur misalnya harus kembali ke organisasi Muhammadiyah
dan KH. Abdul Wahab Chasbullah terus melanjutkan penggalangan solidaritas ulama
dalam forum tersebut.
SEJARAH
DAN PERKEMBANGAN NU
A.
Sejarah NU
Nahdlatul Ulama (kebangkitan ulama atau kebangkitan
cendikiawan Islam) disingkat NU adalah sebuah organisasi Islam yang besar di
Indonesia. Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang
pendidikan, sosial, dan ekonomi.
Keterbelakangan baik secara mental, maupun ekonomi yang
dialami bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi,
telah menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa
ini, melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1928 tersebut
dikenal dengan “Kebangkitan Nasional”. Semangat kebangkitan memang terus
menyebar ke mana-mana –setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai
organisasi pendidikan dan pembebasan.
Kalangan pesantren yang selama ini gigih melawan
kolonialisme, merespon kebangkitan nasional tersebut dengan Membentuk
organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) pada
1916. Kemudian pada tahun 1918 Didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga
dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), Sebagai wahana pendidikan
sosial politik kaum dan Keagamaan kaum santri. Didirikan Kemudian dan situ
Nalidlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat ini dijadikan basis
untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka
Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga
pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal
yakni mazhab Wahabi di Mekkah, serta hendak menghancurkan semua peninggalan
sejarah Islam maupun pra Islam, yang selama ini banyak diziarahi karena
dianggap bid'ah. Gagasan kaum Wahabi tersebut mendapat sambutan hangat dan kaum
modernis di Indonesia, baik kalangan Muhammadiyah maupun PSII di bawah pimpinan
HOS Tjokroaminoto. Sebaliknya, kalangan pesantren yang selama ini membela
keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban
tersebut.
Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren
dikeluarkan dari anggota Kongres Al-Islam di Yogyakarta pada tahun 1925.
Akibatnya kalangan pesantren juga tidak dilibatkan dalam delegasi sebagai
Mu’tamar ‘Alam Islami (Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan
mengesahkan keputusan tersebut. Sumber lain menyebutkan bahwa KH. Hasyim
Asy’ari, KH Wahab Hasbullah dan sesepuh NU lainnya berjalan keluar membuat
delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang diketuai oleh KH. Wahab
Hasbullah.
Didorong oleh umatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan
bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan
pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang
diketuai oleh KH Wahab Hasbullah.
Atas desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite
Hejaz, dan tantangan dan segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu
Saud mengurungkan niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas
dilaksanakan ibadah sesuai dengan mazhab mereka masing-masing. Peran itulah
internasional kalangan pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan
bermazhab dan berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang
sangat berharga.
Komite Berangkan dan berbagai organisasi yang bersifat
embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi
yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan
zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul
kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama
(Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini
dipimpin oleh KH. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Untuk menegaskan prinsip dasar organisasi ini, maka KH.
Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar), kemudian
juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah wal Jamaah. Kedua kitab
tersebut, kemudian diejawantahkan dalam Khittah NU, yang dijadikan dasar
dan rujukan sebagai warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial,
keagamaan dan po1itik.
B.
Paham Keagamaan
NU menganut paham Ahlussunah wal Jama’ah, sebuah pola pikir
yang banteng jalan tengah antara ekstrim aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrim
naqh (skripturalis). Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya
al-Quur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan kemampuan akal ditambah dengan
realitas empirik. Cara berpikir semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu
seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi.
Kemudian dalam bidang fikih mengikuti satu mazhab: Syafi’i meskipun tiga
madzhab mengakui yang lain: Hanafi, Maliki, Hambali, sebagaimana yang tergambar
dalam lambang NU Berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf,
mengembangkan metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan
antara tasawuf dengan syari’at.
Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan
momentum penting untuk menafsirkan kembali ajaran Ahlussunnah wal Jamaah, serta
merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial.
Merumuskan kembali serta hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil
kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Sayang, dalam waktu cukup lama, kekayaan intelektual yang
dimiliki NU itu tidak mengalami perkembangan signifikan. Akibatnya, NU dengan
berbagai tradisi dan lembaga pendidikannya (pesantren) hanya menjadi semacam
“dapur pengawet” ilmu. ilmu keislaman. Tidak ada upaya serius untuk
merevitalisasi, apalagi melakukan transformasi terhadap khazanah itu. Hal ini
bisa dipahami karena ulama NU umumnya mempunyai pengetahuan keagamaan yang
hampir seragam, baik di bidang teologi, tasawuf maupun fikih.
Sumber pengetahuan yang digunakan, baik dalam arti genealogi
intelektual maupun kitab-kitab yang menjadi rujukan, juga dapat dikatakan sama
sehingga belum terjadi apa yang disebut “diversifikasi pengetahuan”. Dalam
situasi demikian bisa dipahami jika pada masa- masa mi para pengamat tidak
begitu tertarik dengan NU, akibatnya, hingga awal 1990-an kita masih sulit
menemukan karya berbobot mengenai NU. Bila orang melihat NU paling-paling hanya
gemuruh politik yang tampak di permukaan, sedangkan hasil pemikirannya hampir-.
hampir tidak dilirik orang. Singkatnya, hingga paruh kedua 1980-an, NU tidak
mempunyai pesona.
Pertanyaan yang muncul, mengapa dalam waktu yang panjang
(sejak tahun kelahiran NU sampai paruh kedua 1980an) perkembangan
intelektualisme NU hampir-hampir tidak bergerak, bahkan mereka menjadi “palang
pintu” penjaga ortodoksi? Pertanyaan ini dapat dijawab dan berbagai perspektif.
Pertama, dalam waktu panjang di kalangan NU belum terjadi
mobilisasi intelektual dalam arti belum banyak warga NU terpelajar yang
menempuh pendidikan tinggi.
Kedua, akibat dan hal pertama, genealogi intelektual ulama
NU juga hampir seragam, belum terjadi variasi dan diversifikasi sumber
keilmuan. Hal ini bukan berarti ulama NU selalu mempunyai pandangan yang sama
mengenai suatu masalah. Meski genealogi intelektualnya relatif sama, ekspresi
di tingkat personal sering berbeda, bahkan bertentangan antara satu dengan
lain.
C.
Dasar Pendukung
Dalam menentukan dasar pendukung atau warga NU ada beberapa
istilah yang perlu diperjelas, yaitu anggota, simpatisan atau pendukung dan
Muslim tradisionalis yang sepaham dengan NU. Jika istilah warga disamakan
dengan istilah anggota, maka sampai hari ini tidak ada satu dokumen resmi pun
yang bisa dirujuk untuk itu. Karena sampai hari ini tidak ada tumbuh Upaya
serius di NU di tingkat apapun untuk mengelola keanggotaannya. Dari segi
pendukung atau simpatisan ada dua cara melihatnya. Dari segi politik, ini bisa
dilihat dan jumlah perolehan suara partai-partai yang berbasis atau
diasosiasikan dengan NU, seperti PKBU, PNU, PKU, Partai Suni, dan sebagian dari
PPP. Dari segi keagamaan paham maka bisa dilihat dari jumlah orang yang
mendukung dan mengikuti paham keagamaan NU.
Maka dalam hal ini bisa dirujuk hasil penelitian Saiful
Mujani (2002) yaitu berkisar 48% dan muslim santri Indonesia. Suaidi Asyari
(Nalar Politik NU & Muhammadiyah, 2009) memperkirakan ada sekitar 51 juta
dari Muslim santri dapat dikatakan pendukung Indonesia, pengikut paham atau
keagamaan NU. Sedangkan jumlah santri yang disebut Muslim sampai 80 juta atau
lebih merupakan mereka paham keagamaannya yang sama dengan paham keagamaan NU.
Belum tentu mereka ini semuanya warga mau disebut atau berafiliasi dengan NU.
Mayoritas pengikut NU terdapat di pulau DKI, Kalimantan, Sulawesi dan Sumatra.
Perkembangan terakhir pengikut NU mempunyai beragam profesi yang sebagian besar
dari mereka adalah rakyat jelata, baik di kota maupun di desa. Mereka memiliki
kohesifitas yang tinggi karena secara sosial ekonomi memiliki masalah yang
sama, selama itu mereka juga sangat menjiwai ajaran Ahlususunnah wal Jamaah.
Pada umumnnya mereka memiliki ikatan cukup kuat dengan dunia pesantren yang
merupakan pusat pendidikan rakyat dan cagar budaya NU.
Basis pendukung NU ini mengalami pergeseran, sejalan dengan
pembangunan dan perkembangan industrialisasi, maka penduduk NU di desa banyak
yang bermigrasi ke kota memasuki sektor industri. Maka kalau selama ini basis
NU lebih kuat di sektor petani di pedesaan, maka saat di sektor buruh di
perkotaan, juga cukup dominan. Demikian juga dengan terbukanya sistem
pendidikan, basis intelektual dalam NU juga semakin meluas, sejalan dengan
cepatnya mobilitas sosial yang terjadi selama ini. Belakangan ini NU sudah
memiliki sejumlah Doktor atau Master dalam berbagai bidang ilmu selain dari
ilmu ke-Islam-an baik dan dalam maupun luar negeri, termasuk negara-negara
Barat. Hanya saja para Doktor dan Master ini belum dimanfaatkan secara maksimal
oleh para pengurus NU hampir di setiap lapisan kepengurusan NU.
NU di kabupaten Temanggung bermula dan para pengikut Toriqoh
Naqshabandiyah yang berpusat di Sokaraja Banyumas. Kebetulan Temanggung
termasuk wilayah Banyumas konsul yang diketuai oleh Raden Muhtar. Kota Parakan
mulanya dijadikan badal mengingat cabang toriqoh Sukaraja berpusat di Parakan.
D.
Tujuan dan Usaha Organisasi
1.
Tujuan Organisasi
Menegakkan ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah wal Jamaah
di tengah-tengah kehidupan masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
2.
Usaha Organisasi
a)
Di bidang agama,
melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang berpijak
pada semangat persatuan dalam perbedaan.
b)
Di bidang
pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam,
untuk membentuk Muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas. Hal
ini terbukti dengan lahirnya lembaga-lembaga pendidikan yang bernuansa NU dan
sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di pulau DKI.
c)
Di bidang sosial
budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai dengan
nilai keislaman dan kemanusiaan.
d)
Di bidang ekonomi,
mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan, dengan
berkembangnya ekonomi mengutamakan rakyat. Hal ini ditandai dengan lahirnya BMT
dan Badan Keuangan lain yang telah terbukti membantu masyarakat.
e.
Mengembangkan usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat
luas. NU berusaha mengabdi dan menjadi yang terbaik bagi masyarakat.
E.
Struktur Organisasi
- Pengurus Besar (tingkat Pusat)
- Pengurus Wilayah (tingkat Propinsi)
- Pengurus Cabang (tingkat Kabupaten / Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan di luar negeri.
- Pengurus Majelis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan)
- Pengurus Ranting (tingkat Desa / Kelurahan)
Untuk Pusat, Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang,
setiap kepengurusan, terdiri dari:
1.
Mustayar (Penasihat)
2.
Syuriyah (Pimpinan Tertinggi)
3.
Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
4.
Untuk Ranting, setiap kepengurusan terdiri dari:
5.
Syuriyah (Pimpinan Tertinggi)
6.
Tanfidziyah (Pelaksana Harian)
Daftar
Pimpinan Nahdlatul Ulama:
Berikut ini adalah daftar Ketua Rais Aam (Pimpinan
Tertinggi) Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama:
1.
KH. Mohammad Hasyim Asy’arie, 1 926 – 1947.
2.
KH. Abdul Wahab Chasbullah, 1947 – 1971.
3.
KH. Bisri Syansuri, 1972 – 1980.
4.
KH. Muhammad Ali Maksum, 1980 – 1984.
5.
KH. Achmad Siddiq Muhammad Hasan, 1984 – 1991.
6.
KH. Ali Yafie (pjs), 1991 – 1992.
7.
KH. Muhammad Ilyas Ruhiat, 1992 – 1999.
8.
KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, 1999 – sekarang.
Jaringan
Organisasi
Hingga
akhir tahun 2000, jaringan organisasi NU meliputi:
33
Wilayah,
439
Cabang,
15
Cabang Istimewa yang berada di luar negeri,
5.450
Majelis Wakil Cabang / MWC,
47.125
Ranting.
F.
NU dan Politik
Pertama kali NU terjun pada politik praktis pada saat
menyatakan memisahkan diri dengan Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian
mengikuti Pemilu 1955. NU cukup berhasil dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi
Konstituante. Pada masa Demokrasi Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang
mendukung Sukarno. Setelah PKI memberontak, NU tampil sebagai salah satu
golongan yang aktif menekan PKI, terutama lewat sayap pemudanya GP Anshor.
NU Kemudian menggabungkan diri dengan Partai Persatuan
Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa Orde Baru.
Mengikuti Pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada Muktamar NU di Situbondo, NU
menyatakan diri untuk ‘Kembali ke Khittah 1926’ yaitu untuk tidak lagi berpolitik
praktis.
Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai yang
mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang
dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada Pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi
DPR dan Bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid Sebagai Presiden RI. Pada
Pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR.
G.
Perkembangan NU
Perkembangan kontemporer pemikiran keagamaan (Islam) dalam
komunitas NU menunjukkan fenomena yang menarik, terutama yang digalang kader
mudanya. Mereka mempunyai gagasan keagamaan progresif dalam merespons
modernitas dengan menggunakan basis pengetahuan tradisional yang mereka miliki
setelah dipersentuhkan dengan pengetahuan baru dan berbagai khazanah modern.
Mereka tidak hanya concern dengan modernitas yang
terus dikritik dan disikapi secara hati-hati, tetapi juga melakukan
revitalisasi tradisi. Proses revitalisasi tradisi yang mereka lakukan tidak
sekadar mengagung-agungkan dan mensakralkan tradisi, tetapi juga melakukan
kritik secara mendalam atas tradisinya sendiri, baik yang berkaitan dengan
perilaku maupun pemikiran. Bahkan, sendi-sendi doktrinnya sendiri seperti
doktrin ahl al-sunnah wa al-jamâ’ah tidak lepas dan sasaran
kritisismenya. Pikiran dan sikap mereka secara umum jauh lebih responsif dibanding
seniornya dalam menghadapi modernitas.
Munculnya gairah barn intelektualisme NU tidak lepas dan
keputusan NU meninggalkan hiruk-pikuk kehidupan politik praktis dengan konsep
kembali ke khitah 1926 pada 1984. Dengan keputusan itu, warga dan elite NU tidak
lagi disibukkan urusan-urusan politik praktis sehingga mempunyai waktu lebih
banyak untuk memperhatikan masalah pendidikan. Selah itu, terpilihnya Kyai
Achmad Siddiq sebagai Rais ‘Aam Syuriyah dan Abdurrahman Wahid sebagai Ketua
Umum Tanfiziyah PB NU pada Muktamar di Situbondo tahun 1984 mempunyai pengaruh
signifikan perkembangan pemikiran keagamaan NU.
Dalam konteks inilah, Muktamar Pemikiran Islam di NU
mempunyai makna yang strategis untuk terus menjadikan NU sebagai eksemplar
gerakan intelektual, bukan semata-mata sebagai gerakan politik.
Komunitas NU dikenal sebagai masyarakat “tradisional”.
Tradisionalisme itu di satu pihak merupakan hambatan perkembangan NU, di pihak
lain hal itu sekaligus merupakan modal sosial-intelektual dan kekuatan bagi NU.
Artinya, apa pun upaya yang dilakukan untuk “mengubah wajah NU” harus berangkat
dari realitas masyarakat NU sendiri. Tradisionalisme itu biasanya ditandai
beberapa hal. Pertama, komunitas ini sebagian besar tinggal di pedesaan,
meski belakangan terjadi mobilitas vertikal di kalangan elite pedesaan ini,
terutama kalangan muda NU terpelajar. Mereka tidak lagi tinggal di pedesaan,
tetapi mulai menjadi agen-agen perubahan di perkotaan. Meski demikian, sebagian
besar warga NU tetap tinggal di pedesaan dengan karakternya sendiri. Salah satu
karakter pedesaan adalah kurang dinamis, sulit melakukan perubahan, dan lebih
bersifat defensif terhadap modernitas.
Kedua, NU mempunyai
dasar-dasar dan kekayaan intelektual yang senantiasa diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya melalui lembaga pesantren. Karena kekayaan itu
sehingga menjadikan NU amat apresiatif terhadap pemikiran lama meski oleh
kalangan tertentu diklaim sebagai bid’ah dan khurafat. Dengan kaidah al-muhâfazah
‘ala al-qadim al-shâlih wa al-akhzu bi al-jadId al-ashlãh (memelihara
[hazanah] lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik),
kekayaan intelektualisme ini terbentang mulai zaman Nabi Muhammad, zaman
klasik, pertengahan hingga zaman modern. Khazanah ini merupakan modal kultural-intelektual
yang luar biasa bagi NU untuk berdialektika dengan modernitas.
Ketiga, NU mempunyai
lembaga pendidikan yang cukup mapan sebagai basis transmisi keilmuan, yaitu
pesantren. Dengan berbagai kekhasan dan subkulturnya, pesantren terbukti mampu
bertahan dalam masyarakat yang terus berubah. Meski banyak kritik yang
ditujukan kepada lembaga pendidikan tradisional ini, seperti kepemimpinan kyai
yang amat kharismatik, tidak menumbuhkan kritisisme santri, pengajarannya tidak
terprogram dan sebagainya, pesantren mempunyai kekuatannya sendiri berupa
“nilai” yang tidak dimiliki lembaga lain.